Seuntai doa di hari jadiku...

Tak banyak kata yang dapat diucapkan untuk mewakili
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya teruntuk..
Allah SWT
Kedua Orang Tua yang telah membesarkan sampai detik ini..
Adik-adikku tersayang, Heni dan Vina..
Love you girl's..

Saudara - saudara, serta..
Para Sahabat..

Kepada semuanya yang sudah lebih dari 20 tahun ini memberikan support dan doanya
Tidak banyak yang bisa aku beri, hanya untaian zikir yang dapat membawa kita semua menuju kebahagiaan dunia dan akhirat..

Semoga hari-hari kita ke depan semakin mendapat berkah Allah SWT.. Amien
Terima kasih

Sani Rachman Soleman S.Ked
Ruang Diklat RSUD Sragen



Bacillus anthracis penyebab Anthrax


2.1 DEFINISI
Antraks yaitu penyakit infeksi menular akut yang disebabkan oleh bakteri Bachillus Anthrachis. Penyakit ini biasanya menjangkit hewan ternak, tetapi bisa juga menjangkit manusia yang hidup dekat dengan hewan.¹ Ada 4 jenis antraks yaitu: antraks kulit, antraks pada saluran pencernaan , antraks pada paru-paru , dan antraks meningitis.

Antraks disebut juga malignant pustule, malignant edema, Charbon, Ragpicker disease, atau Woolsorter disease, Radang limfa.²

2.2 Bacillus Anthrachis
Bachillus anthrachis termasuk dalam kingdom bacteria, phylum firmicutes, class bacilli, ordo bacilliales, family bacilliaceae, genus bacillus dan species B. anthracis.

Bakteri gram positif ini mempunyai ukuran 3-5m x 1-1.2 m. Berbentuk batang lurus dengan susunan dua-dua atau seperti rantai. Dinding sel dari bakteri ini merupakan polisakarida somatik yang terdiri dari N-asetilglukosamin dan D-galaktosa.

Selanjutnya, dalam sel bakteri antraks ini juga terdapat eksotoksin kompleks yang terdiri atas protective Ag (PA), lethal factor (LF), dan oedema factor (EF). Peran ketigannya itu terlihat sekali dalam menimbulkan gejala penyakit antraks. Tepatnya, ketiga komponen dari eksotoksin itu berperan bersama-sama. Protective Ag berfungsi untuk mengikat reseptor dan selanjutnya lethal factor. Sedangkan oedema factor akan memasuki sistem sel dari bakteri. Oedema factor merupakan adenilsiklase yang mampu meningkatkan cAMP sitoplasma sel, sedangkan fungsi spesifik dari lethal factor masih belum diketahui.

Pertahanan hidup
Dalam mempertahankan siklus hidupnya, Bacillus anthracis membentuk dua sistem pertahanan, yaitu kapsul dan spora. Dua bentuk inilah, terutama spora yang menyebabkan Bacillus anthracis dapat bertahan hidup hingga puluhan tahun lamanya.
Sedangkan kapsul merupakan suatu lapisan tipis yang menyelubungi dinding luar dari bakteri. Kapsul ini terdiri atas polipeptida berbobot molekul tinggi yang mengandung asam D-glutamat dan merupakan suatu hapten. Bacillus anthracis dapat membentuk kapsul pada rantai yang berderet. Pada media biasa, kapsul Bacillus anthracis tidak terbentuk kecuali pada galur Bacillus anthracis yang ganas.

Lebih jauh, bakteri ini akan membentuk kapsul dengan baik jika terdapat pada jaringan hewan yang mati atau pada media khusus yang mengandung natrium bikarbonat dengan konsentrasi karbondioksida (CO2) 5 persen. Kapsul inilah yang berperan dalam penghambatan fagositosis oleh sistem imun tubuh, dan juga dapat menentukan derajat keganasan atau virulensi bakteri.

Selain itu, Bacillus anthracis juga membentuk spora sebagai bentuk resting cells. Pembentukan spora akan terjadi apabila nutrisi esensial yang diperlukan tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan, prosesnya disebut sporulasi. Spora berbentuk elips atau oval, letaknya sentral dengan diameter tidak lebih dari diameter bakteri itu sendiri. Spora Bacillus anthracis ini tidak terbentuk pada jaringan atau darah binatang yang hidup, spora tersebut tumbuh dengan baik di tanah maupun pada eksudat atau jaringan hewan yang mati karena antraks.

Di sinilah keistimewaan bakteri ini, apabila keadaan lingkungan sekitar menjadi baik kembali atau nutrisi esensial telah terpenuhi, spora akan berubah kembali menjadi bentuk bakteri. Spora-spora ini dapat terus bertahan hidup selama puluhan tahun dikarenakan sulit dirusak atau mati oleh pemanasan atau bahan kimia tertentu, sehingga bakteri tersebut bersifat dormant, hidup tapi tak berkembang biak.

Spora antraks tahan terhadap cuaca panas dan dingin dan akan aktif setelah masuk kedalam tubuh hewan. Pada tanah kering, spora akan bertahan selama 60 tahun. Spora akan mati pada suhu 100C (suhu air mendidih) dalam waktu 10 menit, pada karbol 5% dalam waktu 40 hari, pada formalin 10% dalam waktu 4 jam, dan pada hidrogen peroksida dalam waktu 1jam.

Kuman antraks dapat tumbuh optimal pada media umum di labiratorium, misalnya pada media agar bernutrisi atau media agar darah pada suhu 37C dan pH 7-7,4. Bakteri vegetatif mudah mati oleh antibiotik, disinfektan, atau antiseptik. Kuman mati pada suhu 54C dalam waktu 30 menit.²

2.3 PENULARAN
Penularan antraks pada manusia biasanya melalui cara-cara berikut: 1. kontak dengan kulit manusia yang lesi, lecet, atau abrasi; 2. mengonsumsi daging yang terkontaminasi kuman vegetatif atau spora melalui tangan; 3. menghisap spora di tempat kerja yang berkaitan dengan produk hewan; 4. digigit serangga yang baru saja mengigit hewan infektif (jarang).
Spora hasil rekayasa genetik dapat dikirimkan melalui surat dan produk pos lainnya. Spora yang berukuran 1-3m bisa melewati pori-pori amplop kertas yang besarnya 10 m. Dengan demikian, spora akan berhamburan jika amplop digoyang atau digerakkan, dan spora tersebut bisa terhisap atau menempel pada tangan manusia.

2.4 PATOGENESIS
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi, dan menyebabkan septikemia.

Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi menjadi bentuk heptamer.

Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan hipoksia. FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cy-clic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metal-loprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak. Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk cytokines(TNF-α, dan IL-1) dan vasodilator substance (nitric oxide, prostaglandin E₂, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines. Pada waktu yang bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13 dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory lebih dominan, maka akan terjadi Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif B.anthracis.¹

2.5 GEJALA KLINIS
2.5.1 Anthraks inhalasi
Anthraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora kedalam rongga alveolar, kemudian makrofag akan memfagosit spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan bentuk vegetatif terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus anthraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan. Sekali proses germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan perdarahan, edema, dan nekrosis. Pada monyet percobaan keadaan fatal terjadi pada hari ke-58 hingga ke-98 setelah terpajan.

Istilah antraks pneumonia tidak digunakan karena ternyata setelah dilakukan pemeriksaan patologis kelainan yang didapat terutama berupa torakal limfadenitis hemorhagis dan mediastinitis tanpa bronkopneumonia tipikal.

Akan tetapi pada kejadian antraks inhalasi di Sverdlovsk, 25% kasus fatal ditemukan perdarahan fokal dan lesi nekrosis pulmonar (mengingatkan kepada lesi Ghon’s fokal dari tuberkulosis primer).

Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk nonproduktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase ke-dua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi. Manifestasi klinis antraks inhalasi dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan manifestasi radiologis dan patologis dapat dilihat pada Tabel 2.¹

2.5.2 Antraks Kulit
Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher. Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka.

Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal. Duapuluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif. Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi.

Walaupun antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi atau jaringan parut. Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.

2.5.3 Antraks Gastrointestinal
Antraks gastrointestinal, walaupun dapat berakibat fatal, belum pernah dilaporkan di AS. Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis.

Sejumlah besar kuman Gram positif dapat ditemukan pada cairan peritoneal. Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi.Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan. Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B. Anthracis)

Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam, disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress.

2.5.4 Antraks Meningitis
Meningitis antraks merupakan penyakit antraks yang paling jarang terjadi. Penyakit itu timbul akibat bakteremia yang terjadi setelah antraks inhalasi. Pada sebagian besar kasus cairan serebrospinalis menjadi hemoragik dan sejumlah besar kuman basil Gram positif dapat ditemukan. Angka kematian hampir mencapai 100%, akan tetapi terkadang dengan pemberian antibiotik penderita dapat bertahan hidup.¹ Tipe ini biasanya merupakan komplikasi dari tipe-tipe lain.²

2.6 DIAGNOSIS
Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak nyeri patut dicurigai suatu anthraks kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada anthraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif.

Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause, anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks. Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites.

Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan antraks kulit).

Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey.

Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji. Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan diagnostik klinis.

Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif dan antigen kapsul.

2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan.

Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.

Setelah serangan antraks yang terjadi pada tahun 2001 di AS dan berdasarkan uji kepekaan yang dilakukan, CDC menganjurkan kombinasi 2-3 antibiotik untuk pengobatan antraks inhalasi. Pemberian dua atau lebih antibiotik intravena dikatakan sangat bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup. Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks inhalasi akibat serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotik) juga menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antibiotik ini.

Pada binatang percobaan pemberian antibiotik pada infeksi antraks dapat menekan respon kekebalan. Walaupun seseorang yang menderita antraks inhalasi tetap hidup setelah pemberian antibiotik, mengingat proses germinasi spora dapat tertunda, maka kemungkinan kambuh dapat terjadi. Oleh karena itu bagi penderita antraks inhalasi atau seseorang yang terpapar dengan spora antraks secara inhalasi, para ahli menganjurkan pemberian antibiotik harus dilanjutkan paling tidak hingga 60 hari (bila keadaan klinis telah stabil dan penderita telah dapat makan dan minum dengan baik maka pemberian antibiotik dapat diganti menjadi oral).

2.7.2 Profilaksis Setelah Terpajan
Karena antraks berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontra indikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < style="font-weight: bold;">2.7.3 Vaksinasi

Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun. Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal. Seperti vaksin pada umumnya, vaksin antraks juga menyebabkan rasa sakit, kemerahan, rasa gatal, pembengkakan dan benjolan pada daerah suntikan. Sekitar 30% laki-laki dan 60% wanita melaporkan reaksi lokal ini, tapi biasanya hanya untuk waktu yang tidak lama. Benjolan dapat menetap selama beberapa minggu kemudian menghilang. Diluar daerah suntikan, 5-35% melaporkan adanya rasa sakit pada otot, sendi, sakit kepala, demam, menggigil, mual, kehilangan nafsu makan dan kelemahan. Tapi gejala-gejala ini biasanya menghilang setelah beberapa hari. Vaksin antraks diberikan kepada orang-orang yang berhubungan dengan tempat pengolahan produk ternak import dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan diagnostik dan penyelidikan yang memungkinkan mereka kontak dengan spora antraks. Vaksin hanya diberikan kepada laki-laki dan perempuan sehat berusia 18 sampai 65 tahun. Karena belum diketahui apakah dapat menyebabkan kelainan janin, maka vaksin ini tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan :Reaksi hipersensitivitas, Infeksi HIV, Reaksi immuno-supresif, Wanita hamil, Usia <18>65 tahun, Penyakit pernafasan akut atau infeksi aktif, Pemakaian obat imuno-supresan seperti steroid (mis. Prednison).

Sedangkan orang-orang dengan riwayat penyakit autoimun seperti artritis rematoid, lupus, multiple sklerosis, penyakit nerologis dan riwayat polio pada masa kanak-kanak, kemungkinan akan mengalami reaksi advers yang lebih serius.
Sumber lain menyebutkan bahwa imunisasi rutin dengan vaksin antraks tidaklah direkomendasikan. Vaksin ini tidak dapat digunakan untuk mencegah terjadinya antraks setelah terjadi paparan dengan bakteri B. Anthracis.¹¹

2.7.4 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi
Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.

Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi.

2.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk antraks kulit adalah baik, sedangkan untuk antraks deseminata (terutama pulmonal dan meningitis) adalah jelek, angka kematiannya mencapai 25-75%

2.9 PENCEGAHAN
Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pencegahan antraks adalah sebagai berikut:
1. penyembelihan hewan hanya dilakukan di rumah potong, diluar tempat itu harus ada izin dinas peternakan setempat.
2. hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh disembelih.
3. daging hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh dikonsumsi.
4. tidak boleh sembarangan memandikan orang yang meninggal karena sakit antraks.
5. dilarang memproduksi barang yang berasal dari kulit, tanduk, bulu, atau tulang hewan yang sakit atau mati karena antraks.
6. melapor ke puskesmas atau dinas peternakan setempat apabila menemukan ada hewan yang diduga menderita antraks.
7. melakukan vaksinasi antraks pada hewan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pohan, Herdiman T.2005.Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks. Majalah Kedokteran Indonesia.

2. Widoyono.2002.Penyakit Tropis:epidemiologi,penularan,pencegahan,dan pemberantasannya.Erlangga Medical Series.Jakarta

3. http://74.125.153.132/search?q=cache:5telxHyPAc0J:www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_154_Kesehatankerja.pdf+presentasi+biologi+sel+dasar+antraks&cd=8&hl=id&ct=clnk&gl=id

4. http://witarto.wordpress.com/2008/01/16/mengenal-bacillus-anthracis/

5. Lucius, Alvin, dkk. Presentasi Biologi Sel Dasar

6. www.infeks-iPusat Informasi Penyakit Infeksi - PENYAKIT – Antrax.com

7. http://www.utoronto.ca/greenblattlab/images/a/anthrax_bacteria.jpg

8. http://www.bio.davidson.edu/people/sosarafova/Assets/Bio307/javaron/Life%20

9. www.standeyo.com

10. www.bt.cdc.gov/.../lab-testing/algorithm.asp

11. http://wishard.kramesonline.com/Medications/26,2708


Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi Besi

II. 1. Fisiologi Sel Darah Merah
Setiap milliliter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah merah), yang secara klinis sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah sebagai 5 juta per milliliter kubik (mm3). Eritrosit adalah sel gepeng berbentuk piringan yang di bagian tengahnya mencekung (lempeng bikonkaf dengan garis tengah 8 µm, tepi luar tebalnya 2 µm dan bagian tengah tebalnya 1 µm). Bentuk khas ini ikut berperan dalam melakukan fungsinya mengangkut O2 dalam darah. Bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran dan tipisnya sel memungkinkan O2 berdifusi secara lebih cepat. Hal paling penting pada eritrosit yang memungkinkan untuk mengangkut O2 adalah hemoglobin. Molekul hemoglobin terdiri dari dua bagian yaitu globin, suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida dan gugus nitrogenosa nonprotein mengandung besi yang dikenal dengan gugus hem. Setiap atom besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O2, dengan demikian setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut empat molekul O2. Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan apabila berikatan dengan O2 dan kebiruan apabila mengalami deoksigenasi. Dengan demikian, darah arteri yang teroksigenasi sempurna tampak merah, dan darah vena yang telah kehilangan sebagian O2 nya di jaringan memperlihatkan rona kebiruan. Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat-zat berikut :


1. Karbondioksida, dengan demikian hemoglobin ikut berperan mengangkut gas ini dari jaringan kembali ke paru.
2. Bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, yang terbentuk dari CO2 pada tingkat jaringan.
3. Karbonmonoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat dalam darah, tetapi jika terhirup, menempati tempat pengikatan O2 di hemoglobin, sehingga terjadi keracunan karbonmonoksida.

Eritrosit tidak memiliki nukleus, organel, atau ribosom. Struktur-struktur ini dikeluarkan ketika masa perkembangan sel untuk menyediakan ruang bagi lebih banyak hemoglobin. Dengan demikian, sel darah merah pada dasarnya adalah suatu kantung terbungkus membran plasma yang dipenuhi oleh hemoglobin. Ironisnya, walaupun eritrosit merupakan kendaraan untuk mengangkut O2 ke semua jaringan tubuh, namun tidak dapat menggunakan O2 untuk menghasilkan energi. Hal ini dikarenakan eritrosit tidak memiliki mitokondria tempat keberadaan enzim-enzim fosforilasi oksidatif, sehingga hanya mengandalkan glikolisis untuk menghasilkan ATP.10

II. 1. 1. Metabolisme Eritrosit
Eritrosit dewasa mengandung lebih dari 40 enzim. Banyak diantaranya sangat penting untuk daya hidup sel. Eritrosit matang bukannya tidak mampu mengadakan metabolisme. Namun ia tidak mempunyai mitokondria, dan pembentukan ATP tidak terjadi dengan fosforilasi oksidatif dalam reaksi siklus krebs. Tetapi, glukosa diambil dan asam laktat dihasilkan terutama dengan glikolisis (jalur Embden-Meyerhof), kira-kira 10% glukosa dimetabolisme secara oksidatif melalui jalur pentose fosfat. Paling sedikit lima fungsi untuk ATP yang dibentuk dengan metabolisme glukosa:

1. Mempertahankan tingkat (gradien) elektrolit. Kation intraseluler eritrosit utama adalah kalium, sedangkan dalam plasma adalah natrium. Natrium masuk ke dalam eritrosit dan bersamaan dengan itu kalium ke luar sel, dilaksanakan oleh mekanisme membran yang bergantung kepada energi (ATP), yaitu pompa kation sehingga gradien ion normal. Bila pompa kation gagal, natrium dan air masuk kedalam eritrosit, menyebabkan sel membengkak dan akhirnya hemolisis. Energi juga digunakan untuk mempertahankan kadar ion kalsium rendah dalam sel.
2. Memulai (inisiasi) produksi energi. ATP diperlukan untuk reaksi inisial glikolisis yang melibatkan fosforilasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat
3. Mempertahankan membran dan bentuk eritrosit. Energi diperlukan untuk memelihara struktur fosfolipid yang kompleks dari membrane eritrosit. Mempertahankan struktur bikonkaf eritrosit mungkin juga bergantung pada energi.
4. Pemeliharaan besi heme dalam bentuk tereduksi (ferro). Potensi oksidasi dalam eritrosit dapat menyebabkan oksidasi besi dari hemoglobin. Hb yang mengandung ion ferri (methemoglobin) tidak efektif dalam transpor oksigen. Perlindungan terhadap eritrosit dari efek oksidasi bergantung sepenuhnya kepada NADPH dan NADH. Senyawa ini terus-menerus dibentuk dengan aktivitas jalur glikolisis dan jalur pentosa. Pada banyak defisiensi enzim glikolisis dan jalur pentosa yang ditentukan secara genetik, keadaan hemolisis terjadi karena energi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi vital ini tidak dapat dibentuk.
5. Pemeliharaan kadar fosfat organik seperti 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dan ATP dalam eritrosit. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan Hb dan mempunyai efek penting pada afinitas oksigen.10

II. 1. 2. Eritropoiesis (Hematopoiesis)
Sintesis eritrosit memerlukan pasokan terus-menerus asam amino, lipid tertentu, besi, vitamin khusus, dan nutrient renik (trace nutrient). Kecepatan produksi eritrosit diatur terutama oleh elativ erotropoietin (EPO). EPO adalah glikoprotein 30-39 KD yang mengikat reseptor spesifik pada permukaan prekursor eritrosit dan memacu diferensiasi eritrosit dan maturasi klona menjadi eritrosit dewasa. Pada janin manusia EPO diproduksi terutama oleh sel berasal dari monosit/makrofag yang bermukim di hati. Pasca lahir EPO diproduksi hampir semuanya oleh sel peritubuler ginjal.10

Sumsum tulang dalam keadaan normal menghasilkan sel darah merah, suatu proses yang dikenal sebagai eritropoiesis, dengan kecepatan luar biasa 2 sampai 3 juta per detik untuk mengimbangi musnahnya sel-sel tua.1

Pembentukan dan Asal Darah
Secara garis besar perkembangan hematopoiesis dibagi dalam 3 periode :4,6
1. Hematopoiesis yolk sac (mesoblastik atau primitif)
2. Hematopoiesis hati (definitif)
3. Hematopoiesis medular

Hematopoiesis Yolk Sac (Mesoblastik atau Primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari elati vaskuler dan hematopoiesis. Selanjutnya sel eritrosit dan megakariosit dapat diidentifikasi dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari.4,6

Sel induk elative hematopoiesis berasal dari mesoderm, mempunyai respon terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoetin, IL-3, IL-6 dan faktor sel stem. Sel induk hematopoiesis (blood borne pluripotent hematopoetic progenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood island mengalami regresi.

Hematopoiesis Hati (Definitif)
Hematopoiesis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari yolk sac. Perubahan tempat hematopoiesis dari yolk sac ke hati dan kemudian sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen merangsang adhesi dari matrik ekstraseluler dan ekspresi pada reseptor.

Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoiesis sudah terbentuk dalam hati. Hematopoiesis dalam hati yang terutama adalah eritropoiesis, walaupun masih ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoiesis hati mencapai puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor elative tic terdapat di limpa, elati, kelenjar limfe, dan ginjal.4

Hematopoiesis Medular
Merupakan periode terakhir pembentukan elati hematopoiesis dan dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi.

Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi jaringan hematopoietic yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi. Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai system retikuloendotelial.

Pada bayi dan anak, hematopoiesis yang aktif terutama pada sumsum tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan dewasa normal di mana hematopoiesis terbatas pada vertebra (tulang belakang), tulang iga, tulang dada (sternum), pelvis, elativ, skull (tulang tengkorak kepala) dan jarang yang berlokasi pada humerus dan femur.

Selama masa intauterin, hematopoiesis terdapat pada tulang (skeletal) dan ekstraskeletal dan pada waktu lahir hematopoiesis terutama pada skeletal. Secara umum hematopoiesis ekstra medular terutama pada organ perut, terjadi akibat penyakit yang menyebabkan gangguan produksi satu atau lebih tipe sel darah, seperti eritroblastosis fetalis, anemia pernisiosa, talasemia, sickle cell, anemia, sferisitosis herediter dan variasi leukemia.4

Hemoglobin
Sejak masa embrio, janin, anak dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin antara lain :
1. Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland
2. Hemoglobin fetal : Hb-F
3. Hemoglobin dewasa : Hb-A1 dan Hb-A2

Hemoglobin Embrional
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas elative dalam yolk sac membentuk rantai globin-epsilon (Ɛ) dan zeta (Z) yang akan membentuk hemoglobin elative Gower-1 (Z2Ɛ2). Selanjutnya mulai sintesis rantai α mengganti rantai zeta, rantai ᵞ mengganti rantai Ɛ di yolk sac, yang akan membentuk Hb-Portland (Z2ᵞ2) dan Gower (α2Ɛ).
Hemoglobin yang terutama ditemukan pada masa gestasi 4-8 minggu adalah Hb Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang disintesis di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

Hemoglobin Fetal
Migrasi pluripoten sel stem dari yolk sac ke hati, diikuti dengan sintesis hemoglobin fetal dan awal dari sintesis rantai β. Setelah masa gestasi 8 minggu Hb F paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan hemoglobin, kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira 70% Hb F. Sintesis Hb F menurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12 bulan hanya sedikit ditemukan.

Hemoglobin Dewasa
Pada masa embrio telah dapat dideteksi Hb A (α2β2), karena telah terjadi perubahan sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% Hb A, pada waktu lahir mencapai 30% dan pada usia 6-12 bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa.

Hemoglobin dewasa minor ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir dan pada usia 12 bulan mencapai 2-3,4%, dengan rasio normal antar Hb A dan Hb A2 adalah 30:1. Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor yang mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh faktor hormonal.6

II. 2. Anemia
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat.10.Meskipun penurunan jumlah Hb yang beredar menurunkan kapasitas angkut oksigen darah, sedikit gangguan klinis sampai kadar Hb turun mencapai kadar di bawah 7-8 g/dL. Di bawah kadar ini kepucatan menjadi nyata pada kulit dan mukosa. Penyesuaian fisiologik terhadap anemia meliputi peningkatan curah jantung, ekstraksi oksigen meningkat (perbedaan oksigen arteriovenosa meningkat), dan hubungan samping (pirau aliran darah ke jaringan dan organ vital).

II. 2. 1. Klasifikasi Anemia
Anemia bukan merupakan suatu kesatuan spesifik tetapi merupakan akibat dari berbagai proses patologik yang mendasari. Klasifikasi anemia yang bermanfaat pada anak dibagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan volume korpuskular rata-rata eritrosit (mean corpuscular volume, MCV) : mikrositik, normositik, atau makrositik. Anemia pada anak dapat juga diklasifikasikan berdasar variasi dalam ukuran dan bentuk sel, seperti tampak pada perubahan lebar distribusi eritrosit (red blood cell distribution width, RDW).10

II. 2. 2. Tanda dan Gejala Anemia pada Anak
• Letargi
• Iritabilitas
• Lelah
• Malas
• Sakit kepala
• Nafas pendek
• Nyeri dada
• Kehilangan konsentrasi

II. 2. 3. Skrining Diagnosis Anemia pada Anak
Berdasarkan American Academy of Pediatrics (AAP), skrining untuk anemia pada anak antara lain adalah :5,7
1. Hitung darah lengkap
2. Mean Corpuscular Volume (MCV) untuk menemukan anemia pada anak berupa makrositik, mikrositik dan normositik
3. Tingkat Fe darah
4. Hemoglobin elektroporesis
5. Aspirasi sumsum tulang

II. 3. Anemia Defisiensi Besi

II. 3. 1. Pengantar
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia akibat defisiensi besi untuk sintesis Hb merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi dan anak. Frekuensinya berkaitan dengan aspek dasar metabolisme besi dan nutrisi tertentu. Tubuh bayi baru lahir mengandung kira-kira 0,5 gr besi, sedangkan dewasa kira-kira 5 gr. Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.7,8,9

Ada dua cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan), besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi.7

Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum.

Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai pertengahan jejunum, makin kea rah distal usus penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik (ferri/Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk ferro (Fe2+). Bentuk ferro ini kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk ferro ini mengalami oksidasi menjadi bentuk ferri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk ferro dan didalam plasma ion ferro direoksidasi kembali menjadi bentuk ferri. Kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.1,2

Di dalam sum-sum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoiesis.

Bioavailabilitas besi dipengaruhi olehkomposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam the dan kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antacid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi.

Besi heme di dalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim hemeoksigenase menjadi ion ferri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion ferri bebas ini akan mengalami siklus seperti di atas.

Di dalam tubuh cadangan besi ada dua bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan cadangan besi untuk mempertahankan kadar Hb.

II. 3. 2. Status Besi pada Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir (BBL) cukup bulan didalam tubuhnya mengandung besi 65-90 mg/kgBB. Bagian terbesar sekitar 50 mg/kgBB merupakan massa hemoglobin, sekitar 25 mg/kgBB sebagai cadangan besi dan 5 mg/kgBB sebagai mioglobin dan besi dalam jaringan. Kandungan besi BBL ditentukan oleh berat badan lahir dan massa Hb.

Bayi cukup bulan dengan berat badan lahir 4000 gram mengandung 320 mg besi, sedangkan bayi kurang bulan mengandung besi kurang dari 50 mg. Konsentrasi Hb pada pembuluh darah tali pusat bayi cukup bulan adalah 13,5-20,1 gr/dL.

Setelah dilahirkan terjadi perubahan metabolisme besi pada bayi. Selama 6-8 minggu terjadi penurunan yang sangat drastis dari aktivitas eritropoisis sebagai akibat dari kadar O2 yang meningkat, sehingga terjadi penurunan kadar Hb. Karena banyak zat besi yang tidak dipakai, maka cadangan besi akan meningkat. Selanjutnya terjadi peningkatan aktivitas eritropoisis disertai masuknya besi ke sumsum tulang. Berat badan bayi dapat bertambah dua kali lipat tanpa mengurangi cadangan besi. Pada bayi cukup bulan keadaan tersebut dapat berlangsung sekitar 4 bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan hanya 2-3 bulan. Setelah melewati masa tersebut kemampuan bayi untuk mengabsorpsi besi akan sangat menentukan dalam mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Pada bayi cukup bulan untuk mendapatkan jumlah besi yang cukup harus mengabsorpsi 200 mg besi selama 1 tahun pertama agar dapat mempertahankan kadar Hb yang normal, yaitu 11 g/dL. Bayi kurang bulan harus mampu mengabsorpsi 2-4 kali dari jumlah biasa. Pertumbuhan bayi kurang bulan jauh lebih cepat dibandingkan bayi cukup bulan sehingga cadangan besinya lebih cepat berkurang. Untuk mencukupi kebutuhan besi, bayi cukup bulan membutuhkan 1 mg besi/kgBB/hari, sedangkan BBLR memerlukan 2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 15 mg/kgBB/hari. Bayi dengan BBL < style="font-weight: bold;">II. 3. 4. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel dapat dilihat 3 tahap defisiensi besi, yaitu :7,8,9 1. Tahap pertama Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal. 2. Tahap kedua Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. 3. Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

II. 3. 5. Manifestasi Klinis
Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <> 100 µg/dl eritrosi
• Kadar feritin serum <> 17%.
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < style="font-weight: bold;">II. 3. 7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom mikrositik lain (lihat tabel 2). Keadaan yang sering memberikan gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah thalassemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.7,8,9

II. 3. 8. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penaganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat oleh karena terdapat gangguan pencernaan.1,2

1. Pemberian preparat besi peroral
Preparat yang tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya lebih murah. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop). Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai adalah 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Preparat besi ini harus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.1,2

2. Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intramuskuler menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi. Dosis dihitung berdasarkan :
Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

3. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < style="font-weight: bold;">II. 3. 9. Pencegahan
Tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada masa awal kehidupan adalah meningkatkan penggunaan ASI eksklusif, menunda penggunaan susu sapi sampai usia 1 tahun, memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan asam askorbat (jus buah) pada saat memperkenalkan makanan pada usia 4-6 bulan, memberikan suplementasi Fe kepada bayi yang kurang bulan, serta pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi.1,2

II. 3. 10. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemia hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
2. Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence, significance, and causes in patients receiving palliative care. Medlineplus. 26:1132-1139.
3. Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 : 72-85.
4. Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.
5. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.
6. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.
7. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam : McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s Pediatrics : Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999 : 1447-8.
8. Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia; Saunders, 2000 : 1469-71.
9. Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352 : 1011-1023.

Juvenile Rheumatoid Arthritis

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

II.1 Definisi
Arthritis rheumatoid Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan eksklusi kausa lain peradangan sendi pada anak usia 16 tahun atau kurang.1

Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah arthritis kronik juvenile lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam hal penggunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR untuk menggunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah arthritis idiopatik juvenile (ARJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.7


II.2 Etiologi
Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.7


II. 3 Epidemiologi
ARJ merupakan arthritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun.

ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif.7

II.4 Klasifikasi
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.9

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995.7Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan. (1)Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.(2)Pausiartikular ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤ 4,(3) Poliartikular ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5

II.5 Patofisiologi dan Patogenesis7,9,5
ARJ merupakan penyakit autoimun multisystem, yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinis dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisinya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibody tersebut, antara lain antibody ANA, factor rematoid dan antibody heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam pathogenesis ARJ.

Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi oleh sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain: IL-2, IL-6, TNF-α, GM- CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T untuk menimbulakan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif yang masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel autoreaktif tak lepas dari peran HLA.

Sitokin juga memegang peranan penting dalam proses pathogenesis ARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFN-γ dan TNF-β, sedangkan pad tipe dua sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral. Pada arthritis rematoid yang dewasa diketahui bahwa sel T tipe 1 yang lebih dominan, ternyata demikian juga yang ditemukan pada ARJ, kecuali pada pausiartikular, sel T tipe 2 yang dominan.

Kemokin diduga juga ikut berperan dalam pathogenesis ARJ. Kemokin merupakan factor penentu migrasi subtype sel T. Beberapa reseptor kemokin bertanggungjawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1, sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang menimbulkan perbedaan pathogenesis. Dari penelitian Thompson dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peranan pathogenesis ARJ dan yang menentukan subtipenya.

Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternative. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternative.

Infeksi virus dan bakteri sebagai factor lingkungan yang berperanan dalam pathogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan arthritis.

II.7 Gambaran Klinik
Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).9

Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan mengidap ARJ awitan – sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 40oC) sampai selama 2 minggu dan (biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ pausiartikular, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular melibatkan lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.

ARJ Sistemik (Penyakit Still)
Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4 tahun.7Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ; tetapi pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier. Subtype ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok usia; pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai “penyakit Still awitan-dewasa”.Sementara sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai ruam-ruam yang cepat menghilang.

Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering melonjak hingga 40 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner , yaitu kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggososk kulit secara lembut.1

Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup besar, mereka sering mengeluh artralgia dan/ mialgia yang parah (Rudolf) Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada ¾ kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit.Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.7

Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin terdapat massa normal.

Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah, pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit, meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.4


Oligoartritis / Pausi-artikuler
Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anak-anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga, sampai 4 sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari. Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.7,2

Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler dan uveitis kronis.(ipd) Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan mengalami bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular.Namun sebagian lagi menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanyya dengan fungsi sendi.7

Dibagi juiga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan mungkin tidak nampak pada anak.2

Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata mereka harus diperiksa setiap 3 bulan,untuk beberapa tahun.2

Poliartritis7
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan sistemik.

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia, uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstraartikuler jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative hanya terdapat 5%

II.7 Pemeriksaan
Laboratorium9
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: (1) pemeriksaan darah lengkap, (2) urin lengkap, (3) faal hati, (4) faal ginjal, (5) tes ANA, dan (6) faktor rematoid. Pada ARJ, didapatkan kadar CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit, Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif.

Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi.Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.

Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Pemeriksaan Radiologi7,1
Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartikular.

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.

Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.

Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

II.8 Diagnosis Banding7
Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah: (1) infeksi bakteri, virus, tuberkulosis, (2) Post infeksi streptokokus, (3) Trauma, (4) Kelainan hematologi: Leukimia, hemophilia, (5) Penyakit Kolagen, (6) Demam rematik, yang membedakannnya dari ARJ ialah, pada demam rematik didapat kan gejala chorea, interval PR memanjang pada pemeriksaan EKG dan tes ASTO positif.

II.9 Diagnosis
Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JRA dibuat semata-mata secara klinis. Walaupun beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis ARJ.9

Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis.9

Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut AMERICAN COLLEGE OF RHEUMATOLOGY (ACR) 9: (1)Usia penderita kurang dari 16 tahun, (2) Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau terdapat 2/lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu daerah sendi naik), (3) Lama sakit lebih dari 6 minggu, (4) Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari : (1) Poliartritis (5 sendi ata lebih), (2)Oligoartritis (4 sendi atau lebih), (3) Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten, (5) Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan, walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis

II.10 Penatalaksanaan1,7,9,6
Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup. Garis besar pengobatan Meliputi : (1) Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2). Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen; (3). Obat steroid intra-artikuler; (4). Perawatan Rumah Sakit dan (5). Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.9

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.9

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Beberapa terapi yang dapat diberikan7,1,9:

Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) Obat anti-inflamasi nonsteroid digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.9Efek samping yang sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali.7

Macam OAINS yang sering digunakan7,9: (1) Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.

Aspirin 75-90 mg/Kg/hari. Dosis yang diberikan dapat lebih tinggi pada anak yang lebih dewasa. (2) Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis, (3) Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. (4) Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis, (4) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi dalam 2 dosis.

DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)
Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1) Hidroksiklorokuin: 4-6 mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%, (2) Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75 – 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-sum tulang dan ginjal, (3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX): Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan mengurangi obat-obatan hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30 mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.

Biologic Response Modifiers9
Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.

Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam.

Fisioterapi
Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain: mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.

Pengelolaan nutrisi
Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.

II. Komplikasi9
Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.

Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah.

Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan.

II.12 Prognosis7
Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.

Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4) Faktor rheumatoid positif, (5) Kaku sendi yang persisten, (6) Tenosinovitis, (7) Nodul Subkutan, (8) Tes ANA +, (9) Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit, (10) erosi yang progresif, (11) Pausiartikuler tipe eksten

DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham, Rudolph. 2006. Buku Ajar Ilmu Pediatri Rudolph.Jakarta: EGC
2. Arthritis Foundation, 2007. Pauciarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/pauciarticularJRA.asp
3. Arthritis Foundation, 2007. Polyarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/polyarticularJRA.asp
4. Arthritis Foundation, 2007. Systemic JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/systemiconsetJRA.asp

5. Baratawijaya, Karnen. 2005. Imunologi Dasar. Jakarta: Gaya Baru
6. Criteria for the classification arthritis rheumatoid, 2009, available at:
www. American College of Rheumatology.com
7. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Tim Perumus Format Standar Pelayanan Medik IDAI. 2003. Standar Pelayanan Medik Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
9. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at:
www. children’s IMMUNOLOGY CLINIC. Com
10. Juvenile arthritis, 2007, available at:
www. American Academy of Orthopaedics Surgeons.com
11. Juvenile Idiophatic Arthritis, 2009. Available at:
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/294/13/1722.pdf