Karsinoma Lambung


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I . KANKER LAMBUNG
a . Anatomi
Organ lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang abdomen atas tepat dibawah diagfrahma. Dalam keadaan kosang lambung berbentuk tabung- J, dan bila penuh berbentu seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 – 2 liter. Lambung terbagi atas fundus, korpus, antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura mayor, dan dibagian kiri terdapat cekungan kurvatura minor. Lambung memiliki 2 spinter yaitu diatas spingter cardia, dan dibawah spingter pilorikum.
Lambung terdiri dari 4 lapisan, tunika serosa atau lapisan terluar merupakan bagian dari peritonium viceralis. Lapisan selanjutnya adalah lapisan otot polos lambung atau tunika muskularis yang terdiri dari 3 lapisan otot, yaitu dari paling luar kedalam otot longitudinal, otot sirkular, dan otot obelik, yang semuanya berfungsi untuk megaduk makanan yang masuk kedalam lambung. Lapisan selanjutnya adalah lapisan submukosa, pada lapisn ini terdapat serabut syaraf, pembuluh darah, dan saluran lympe. Lapisan terakhir adalah tunika mukosa. Pada tunika mukosa terdapat kelenjar-kelenjar, yaitu kelenjar kardia dibagian atas dan kelenjar gastrik dibagian bawah. Pada kelenjar gastrik terdapat 3 tipe utama sel, yaitu sel zimogenik atau chief cells yang mengsekresikan pepsinogen, sel parietal yang mengseresikan asam lambung, dan sel mukus (leher) yang mengeluarkan mukus.
Persyarafan lambung dihantarkan oleh sistem sayaraf otonom, yaitu parasimpatis yang diwakili oleh nervus Vagus, dan syaraf simpatis diwakili oleh syaraf splanikus mayor dan seliakum. Darah kelambung disuplai oleh arteri seliaka atau trunkus seliakus, dan dikembalikan melalui vena porta ke organ hati(22).


b. Patologi
Dari semua insidensi kanker lambung yang ada didunia, 50 % berlokasi di bagian bawah lambung (pylori dan antrum), 20 % pada badan lambung (fundus), 20 % pada bagian kurvantura minor, 10 % pada cardia, dan sisanya pada kurvantura mayor. Kanker lambung bagian distal sering tejadi pada orang kulit hitam, dan kanker lambung yang menyerang daerah proximal dari lambung tinggi insidensinya pada orang kulit putih(11).
Lebih dari 90 % dari kanker lambung adalah adenokarsinoma. Adenokarsinoma dapat dibagi menjadi :
- Type difus
Type dari adenokarsinoma yang didalamnya tidak terdapat kohesi sel, mengakibatkan sel yang secara sendiri – sendiri menginfiltrasi dan menebalkan dinding lambung tanpa pembentukan suatu masa yang diskret. Jenis karsinoma ini sering terjadi pada pasien dengan usia lebih muda. Perkembangannya dilambung mencakup kardia berakibat dengan hilangnya densibilitas dinding lambung dan berkaitan dengan prognosis yang jauh lebih jelek.
- Type intestinal
Type dari adenokarsinoma yang ditandai oleh adanya kohesi sel neoplastik yang membentuk stuktur tubuler yang menyerupai kelenjar. Pada type ini sering kali bersifat ulseratif , dan sering tampak didaerah antrum dan kurvatura mayor lambung. Karsinoma tipe intestinal biasanya didahului oleh suatu proses prekanker yang lama. Dan biasanya menyerang pada pasien dengan usia lebih tua(11).


b. Etiologi
Hubungan antara pola diet dengan perkembangan karsinoma lambung adalah penelanan nitrat berkadar tinggi dan jangka waktu lama yang terkandung dalam makanan yang dikeringkan, diasap, dan diasinkan. Nitrat yang masuk akan diubah menjadi nitrit yang karsinogen oleh bakteri. Bakteri tersebut dapat masuk melalui makan yang ditelan, terutama pada masyarakat dengan tinggkat sosio ekonomi yang rendah dan dengan tinggkat kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan dan diri yang masih rendah pula. Bakteri yang dapat menginfeksi lambung dengan keasaman yang tinggi adalah bakteri heliobacter pylori(6).
Beberapa faktor resiko lainnya adalah adanya ulkus lambung, polip adenomatosa. Selain itu golongan darah juga mempunyai peran, pasien dengan golongan darah A memiliki kemungkinan tinggi untuk terserang kanker lambung dari pada pasien yang memiliki golongan darah selain A(14). Secara praktis faktor resiko dari kanker lambung adalah sebagai berikut :
1 . Umur
Insidensi kanker lambung meningkat pada umur 55 tahun, dan semakin tua umur pasien semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya kanker lambung(1,4,5).
2 . Jenis kelamin
jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat kencenderungan yang tinggi untuk mengidap kanker lambung dibanding dengan wanita.
3 . Ras/ suku bangsa/ warna kulit
Orang dengan ras Afrika dan Amerika, berwarna kulit hitam lebih memiliki kecenderungan tinggi untuk terserang kanker lambung dibanding orang dari ras Caucasian dan berwarna kulit putih
4 . Faktor kesehatan (16) ( ulkus kronis)
Kanker lambung meningkat insidensinya pada orang dengan riwayat anemia pernisiosa yang disebabkan adanya kerusakan pada mukosa lambung yang lama seperti ulkus lambung kronik, ulkus duodenal kronik, dan kelainan lambung lainnya seperti atropi lambung, dan polip lambung. Kanker lambung juga meningkat pada orang dengan gejala dispepsia tanpa ulkus. Infeksi Heliobakter yang menyertai ulkus juga meningkatkan resiko kanker lambung. Kelinan kongenital seperti achlorihidria gastric polyposis juga dapat meningkatkan resiko kanker lambung.
5 . Bahan karsinogen dan Diet
bahan-bahan penyebab kanker yang masuk melalui mulut dapat meningkatkan resiko terjadinya kankerlambung , seperti alkohol, rokok, dll. Kebiasaan Merokok dan tingginya masukan garam, dan konsumsi buah-buahan yang rendah meningkatkan resiko kanker. Resiko kanker lambung dari perokok lebih tinggi dari yang tidak perokok dan diperberat dengan pemasukan garam yang tinggi serta diet rendah buah- buahan. Peningkatan masukan garam biasanya berhubungan dengan belum atau tidak digunakannya alat pendingin (Cool Case) untuk menyimpan atau mengawetkan makanan dalam jangka waktu yang lama. Makanan disimpan atau diawetkan dengan cara diasinkan dan diasap, sehingga meningkatkan kandungan garamnya. Rendahnya intake buah-buahan berhubungan dengan kondisi geografis daerah tersebut(1,2,13,14,16,17,18).
Penyebab kanker lambung dari pola diet dapat dibagi dalam faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi berkurangnya keasaman lambung, riwayat operasi lambung sebelumnya, gastritis atrofi atau anemia pernisiosa. Dari faktor eksogen makanan yang terkontaminasi bakteri, golongan sosioekonomi yang rendah dengan sanitasi dan higienisitas yang rendah , dan dapat dikurangi dengan pengunaan lemari pendingin, dapat mencegah adanya infeksi dari Heliobakter Pylori(11).

c . Gambaran Klinis
Keluhan yang paling sering pada penderita kanker lambung adalah nyeri perut bagian atas yang beraneka ragam coraknya, dapat ringan dan hilang timbul, sampai dengan rasa sakit yang hebat dan menetap. Tidak jarang rasa nyerinya sama dengan ciri nyeri dari tukak lambung yang klasik. Anoreksia disertai nausea sering dijumpai dan biasanya disertai dengan penurunan berat badan. Bila kanker berdiam di daerah proximal lambung maka dapat menyumbat esofagus dan menimbulkan keluhan disfagia.
Bila terjadi ulserasi pada kanker selain rasa nyeri dapat pula timbul perdarahan dengan gejala hematemeisis dan atau melena. Jika ulserasi terjadi lebih dalam sapai menembus dinding lambung , dapat terjadi perforasi dan kadang- kadangtebentuk suatu hubungan antara lambung dan kolon (gastrocolic fistula).
Secara praktis dapat diringkas gejala-gejala kanker lambung meliputi :
1 . kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
2 . vomitus
3 . rasa nyeri dan tidak enek pada perut bagian atas (uluhati)
4 . rasa terbakar pada saat makan
5 . muntah darah dan atau berak darah
6 . menurun atau hilangnya nafsu makan, dan sakit saat makan(2)
7 . lemah(4).
d . Diagnosis
Untuk dapat menegakan diagnosis kanker lambung, selain dari anamnesis yang ditujukan untuk mengali keluhan-keluhan yang diderita pasien, juga dapat dari riwayat kesehatan pasien. Untuk lebih bisa menegakan diagnosis kanker lambung dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk dapat melihat kanker dari segi topografi, penyebaran, dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker lambung antara lain adalah:
1 . Endoskopi lambung dan duodenum (EMD)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan tabung fleksibel (endoscope) dengan lampu pada ujungnya yang dimasukan melalui mulut, masuk ke esofagus, lambung, dan usus halus. Pemeriksa akan dapat melihat gambaran makroskopik dari saluran pencernaan bagian atas secara jelas, dan juga dapat mengambil sedikit cairan ataupun jaringan untuk dilakukan pemeriksaan sitologi maupun histologi biopsi cairan atau jaringan tersebut.
2 . Rongten lambung dengan kontras
pengambilan foto rongten dilakukan setelah pasien meminum bahan kontras, seperti larutan barium. Kemudian setelah beberapa saat diambil foto abdomen bagian atas. Hasil dari foto tesebut didapatkan gambaran pengisian lambung oleh larutan barium. Dengan pemeriksaan ini pemeriksa dapat melihat gambaran area lambung secara jelas. Untuk mendapatkan foto yang akurat, maka sebelumnya pasien hendaknya puasa semalam supaya tidak terjadi gambaran yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan.
3 . Test darah
Untuk mendeteksi adanya kanker lambung dan untuk meramalkan respon terapi (kemoterapi/radioterapi). Pada kanker lambung CA 19-9 sering dikombinasikan dengan pemeriksaan CEA(19). Pemeriksaan darah juga dapat untuk memeriksa adanya anemia pernisiosa yang ditimbulkan oleh ulkus lambung ataupun kanker lambung. Test darah ini juga untuk melihat adannya melena mikroskopis(4)
4 . Computerized tomography (CT) scan
Pemeriksaan dengan alat canggih ini dilakukan untuk melihat kanker lambung, dan metastasenya ke organ sekitarnya. Dengan pemeriksaan ini dapat di diagnosis dengan akurat dan cermat segala jenis kanker, termasuk kanker lambung(21).
e . Pembagian kanker lambung dalam
Pembagian kanker lambung selain menggunakan kalsifikasi TNM yang lazim di gunakan, juga menggunakan klasifikasi yang didasarkan pada prosesifitas kanker lambung itu sendiri. Menurut penelitian dari The Health Resource, Inc kanker lambung dibagi atas 5 stage dan 1 tipe kambuhan. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Stage 0
Merupakan kanker lambung yang sangat awal, sel kanker ini terdapat dalam lapisan dalam dari dinding lambung.
- Stage I
Sel kanker terdapat dalam lapis kedua atau ketiga dari dinding lambung dan belum menyebar ke kelenjar lympe sekitar, atau kanker pada lapisan kedua dengan penyebaran ke kelenjar lympe paling dekat.
- Stage II
1 . Sel kanker pada lapisan kedua dinding lambung, dengan penyebaran yang jauh dari tempat kanker
2 . Kanker hanya pada lapisan otot lambung (lapisan ketiga), dan dengan penyebaran kekelenjar lympe yang dekat dengan kanker
3 . Kanker pada seluruh lapisan lambung (keempat lapisan), tanpa adanya penyebaran ke kelenjar lympe sekitar
- Stage III
1 . Kanker pada apisan ketiga dinding lambung , dengan penyebaran ke kelenjar lympe yang jauh dari sel kanker
2 . Kanker pada ke empat lapisan dinding lambung, dengan penyebaran dekat atau jauh dari sel kanker
3 .Kanker pada keseluruhan dinding lambung dan telah menyebar kejaringan sekitar. Kanker mungkin telah menyebar kekelenjar lympe yang dekat dengan sel induk kanker
- Stage IV
Kanker yang terdapat pada keseluruhan dinding lambung, dan telah menyebar kejaringan sekitarnya, dan telah bermetastase melalui kelenjar lympe yang jauh dari induk sel kanker dan telah mengenai organ lain(20).
- Tipe Kambuhan (residif)
Pada jenis kanker tipe kambuhan, sel-sel kanker kembali tumbuh setelah dilakukan pengobatan yang cukup.
f . Terapi
Terapi kanker lambung salah satunya adalah dengan mengambil lambung yang sudah terkena kanker, pengambilan ini ditujukan pada kanker yang sudah menivasi sampai diseluruh kedalaman dinding lambung, dan ada kemungkinan telah menyebar. Berdasarkan cara dan jenis terapinya, terapi kanker lambung dibagi dalm 3 jenis terapi sebagai berikut:
1 . Terapi Bedah
Terapi bedah dengan mengambil seluruh lambung (gastrectomy) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan dari terapi kanker lambung. Jika tahap kanker masih awal dan tidak menyebar pengangkatan sebagian dari lambung dapat meningkatkan keberhasilan terapi (subtotal gastrectomy).
2 . Kemoterapi
Kemoterapi diberikan untuk melawan sel kanker melalui obat yang dimasukan melalui darah atau oral. Obat tersebut akan melawan sel kanker dimanapun tempatnya diseluruh tubuh. Kemoterapi dapat juga diberikan setelah terapi bedah untuk membersihkan kanker setelah pembedahan.
3 . Terapi Radiasi
Terapi dilakukan dengan penyinaran menggunakan sinar X, terapi ini biasanya dilakukan sesudah terapi pembedahan, dan biasanya diberikan secara bersamaan dengan kemoterapi(21).
Keberhasilan terapi kanker lambung tergantung pula dari kondisi tubuh pasien dan pengkombinasian terapi yang diberikan. Pemberian teraoi sinar tanpa kombinasi dengan kemoterapi, tidak memberikan efek yang signifikan. Kombinasi keduanya memberikan kekuatan terapi yang adekuat dalam melawan sel kanker, dan dapat meningkatkan harapan hidup pada pasien dengan kanker lambung stadium lanjut. Pemberian terapi kombinasi antara kemoterapi dan penyinaran sebelum dilakukan tindakan operasi dapat mengecilkan ukuran tumor, dan menghindarkan pasien dari operasi pengangkatan lambung secara total. Obat kemoterapi yang diberikan antara lain 5-FU, doksorubisin, mitomicin-C, sisplatin, atau metotreksat dosis tinggi. Dosis penyinaran pada kanker lambung adalah 3500-4000 gray(11).
II . HELIOBACTER PYLORI
a. Jenis

Heliobakter pylori adalah suatu basilus (panjang 0,2 – 0,5 μm), gram negatif, berbentuk spiral dengan flagela multipel yang lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. Kolonisasi heliobakter pylori terjadi 90 %-95 % pada pasien dengan ulkus lambung. Kolonisasi heliobakter pylori meningkat dengan pertambahan umur, pada individu sehat dengan usia dibawah 30 tahun mempunyai angka prevalensi kolonisasi 10 %, dan pada usia diats 60 tahun angka prevalensinya sebanding dengan umur mereka. Heliobacter merupakan bakteri oportunistik yang ada didalam lambung manusia. Pada tahun 1994 Heliobacter Pylori dimasukan dalam golongan karsinogen klas I (4, 19, 13, 21)
H. Pylori menyerang jaringan , bakteri ini menghuni dalam gel lendir yang melapisi sel epitel, dengan bagian kecil dari tubuhnya yang menempel pada epithelial (12). Kuman tumbuh pada permukaan dinding lambung dan menghasilkan enzim yang dapat merusak lapisan mukosa lambung. Kuman ini sering didapatkan pada kasus gastritis (radang lambung) kronik dan tukak lambung dan duodenum (usus dua belas jari). Telah terbukti saat ini bahwa infeksi yang
disebabkan oleh helicobacter pylori pada lambung bisa menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut dengan gastritis Proses ini bisa berlanjut hingga
terjadi ulkus/tukak bahkan kanker lambung(6).
b . Cara Masuk
Kuman heliobacter pylori masuk kedalam lambung manusia melalui makanan atau barang-barang yang terkontaminasi oleh kuman tersebut dan tertelan masuk(3). Cara masuk kuman heliobacter pylori ini berhubungan erat dengan rendahnya kesadaran akan kebersihan linkungan dan diri pada masyarakat yang banyak terinfeksi heliobacter pylori. Pada negara-negara dengan kondisi sosial ekonomi yang masik rendah seperti di Afrika, Amerika Selatan dan sebagian Asia, tingkat insidensi dari infeksi heliobacter pylori mencapai lebih dari 20%-50 % dari total penduduk (2, 5, 8, 9, 15). Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Parsonnet’s di Cina mendapat bahwa lebih dari 6 % anak-anak di Cina telah terinfeksi kuman heliobacter pylori, dan lebih dari 85 % terinfeksi dibawah umur 10 tahun(8).
c. Patogenesis
Infeksi dari kuman heliobacter pylori dapat menyebabkan adanya gangguan dalam lambung dari yang paling ringan sampai pada terjadinya gangguan berat seperti kanker lambung. Heliobacter pylori merupakan kuman yang sanggup hidup di dalam lambung dengan kondisi linkungan yang sangat asam, hal ini disebabkan karena kuman heliobacter pylori dapat menghasilkan enzim ureum hidrolisis yang dapat membantu kuman untuk memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Hasil dari pemecahan urea oleh kuman heliobacter pylori digunakan untuk mengatasi keasaman dengan cara menaikan pH lambung, sehingga H. pylori dapat hidup dan tumbuh di lambung.
Heliobacter pylori mengikat kuat pada epitel lambung dengan menggunakan berbagai macam alat yang melekat pada tubuhnya, dan dibantu dengan adanya mediator adhesi sel. Setelah melekat pada epitel dinding lambung H. pylori mengeluarkan eksotoxin yang berupa bicarbonat dan anion organik yang dimasukan kedalam sel epithel.
Membran sel lambung yang terinfeksi akan merangsang peningkatan kadar interlukin-1β, interlukin-2, interlukin-6, interlukin-8, dan tumor necrosis faktor. H. pylori menginduksi interlukin-8, respon ini kemudian mengaktifkan Nuclei Naktor-R (NF-R) yang merupakanm respon awal dari aktivitas protein-1 (AP-1), yang berakibat fagositosis buta. H.pylori juga menginduksi sistem humoral pada mukosa lambung. Antibodi yang diprosuksi tidak berperan dalam eradikasi kuman, melaikan ikut serta dalam proses perusakan mukosa lambung. Respon ini juga mengakibatkan terjadinya reaksi autoantibody secara langsung yang berperan dalam penurunan sekresi asam lambung oleh sel parietal, sehingga meningkatkan terjadinya atrofi pada corpus lambung yang pada akhirnya dapat memacu timbulnya kanker lambung.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Uemura et al. di Kure Kiyosai Hospital dengan melibatkan 1526 pasien dengan ulkus atau tanpa ulkus dan disertai dengan adanya infeksi dari H. pylori. Didapatkan hasil 2,9 % pasien menderita kanker lambung. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 7,8 tahun sejak 1993 sampai 2000. dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa resiko tertinggi kanker lambung terjadi pada pasien dengan ulkus lambung, lambung polip hiperplasi, dan dyspepsi tanpa ulkus, sedangkan pada pasien dengan ulkus duodenal tidak merupakan faktor resiko kanker lambung. Kanker lambung yang banyak terjadi pada penelitian ini adalah kanker lambung tipe intestinal.
Masalah yang timbul dari penelitian Uemura diatas adalah, apakah pengobatan pada infeksi H. pylori dapat menurunkan resiko kanker lambung. Pertannyaan ini dijawab oleh penelitian yang diadakan oleh Hansson et al. yang dalam penelitiannya mendapatkan jawaban atas pertanyaan diatas, bahwa kanker lambung tidak akan terjadi pad pasien gastritis dengan infeksi H. pylori yang diobati dengan adekat dan tepat.
Dari penelitian lain yang diadakan oleh Correa et el. Mendapatkan bahwa ada indikasi tentang infeksi kronis H.pylori menyebabkan pertumbuhan progersif dalam kurun waktu 10 tahun dari tahapan gastric kronik, atipik, interstinal metaplasi, displasi, dan kanker lambung (4. 7, 8, 9, 10, 11,15, 16, 20, 21).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli diatas dapat ditari suatu hipotesis bahwa peranan infeksi Heliobacter Pylori pada ulkus lambung dan hubungannya dengan peninggkatan kasus kanker lambung adalah, adanya reaksi infeksi kronik yang menimbulkan kerusakan berupa gastritis yang dapat berkembang menjadi atipi lambung, interstinal metaplasi, dysplasi, dan terakhir adalah kanker lambung. Sehingga secara rasional dan telah dibuktikan bahwa pengibatan infeksi heliobacter pylori yang adekuat dan tepat dapat menurunkan kasus kanker lambung.
d. Gejala Infeksi Heliobacter Pylori
Secara nyata gejala khas dari infeksi heliobacter pylori adalah tidak tampak. Gejala adanya infeksi heliobacter pylori tampak jika disetai dengan adanya kerusakan mukosa lambung seperti ulkus. Gejala gejala yang timbul karena ulkus yang disertai dengan infeksi heliobacter pylori adalah
1 . Rasa terbakar, panas, enek, atau perut yang terasa sangat penuh pada perut atas/epigatrium, yang timbul episodik. Nyeri biasanya menjalar kepunggung atau kuadran atas
2. Rasa sakit bertambah bila keadaan lambung kosong, yang terjadi diantara waktu makan, dan sat tidur malam, namun keadaan ini dapat terjadi terus menerus sepanjang hari, sampai beberapa minggu
3 . Sembuh dengan minum antasid, susu, atau obat yang dapat mengurangi sekrasi asam lambung
4 . Ditambah gejala-gejala umum dari ulkus seperti nausea, vomiting, dan hilangnya nafsu makan
5 . Dapat pula terjadi perdarahan. Perdarahan ini mungkin yang menyebabkan terjadinya anemia dan kelemahan. Jika perdarahan hebat dapat terjadi hematemesis dan atau melena (1, 3, 8, 11, 15, 17).
Pada pemeriksan fisik ditemukan nyeri tekan pada epigastrium, atau pada garis tengah antara pusar dan prosesus xifoideus, jika telah terjadi perforasi kedalam rongga peritoneum, maka akan didapatkan kekakuan dinding abdomen. Abdomen keras seperti papan, disertai nyeri lepas tekan (reboun tenderness). Dari auskultasi abdomen didapatkan pada awalnya bunyi usus meningkat, dan dalam perkembangannya semakin lama semakain menurun, sampai hilang . Pada kulit dapat dilihat adanya kulit dan selaput lendir yang berwarna pucat, yang merupakan tanda-tanda anemia (11).
e . Pemeriksaan Heliobacter Pylori
Untuk mengetahui adanya kuman Helicobacter pylori dapat dilakukan berbagai test. Pemeriksaan dapat dilakukan melalui test napas karena kuman menghasilkan enzim urease yang dapat dideteksi melalui napas. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan antibodi terhadap kuman. Melalui pemeriksaan gastroskopi dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi dan biakan kuman (6). Pemeriksaan adanya infeksi dari kuman Heliobacter Pylori adalah :
1 . Test Serologi
Dasar dari tes ini adalah reksi antara antigen dan antibody. Antigen yang dikeluarkan oleh kuman heliobacter Pylori akan berikatan dengan antibody yang dibentuk oleh tubuh dan berfungsi mengenali, dan melawan kuman tersebut, antibody yang digunakan adalah Imunoglobilin G (Ig G), yang meningkat bila seseorang terinfeksi oleh kuman heliobacter Pylori. Test ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas 80 %-95 % untuk mendiagnosis atau mengetahui adanya infeksi.
2 . Test nafas ureum
Dasar dari pemeriksaan ini adalah sifat dari kuman heliobacter Pylori yang dapat dengan cepat mengubah urea menjadi ammonia dan karbon dioksida. Pada test ini pasien di berikan salah satu dari tablet 13C atau 14C untuk diminum. Kuman Heliobacter akan dengan cepat merubah tablet urea tersebut dan menghasilkan amonia dan karbondioksida. Setelah kurang lebih 15 –20 menit setelah minum tablet pasien disuruh bernafas dan diukur kandungan ureumnya. Angka sensitivitas dan spesifisitas dari test ini cukup tinggi, sekitar 94 %- 98 %. Test ini adalah test yang lazim digunakan untuk mendiagnosis adanya infeksi heliobacter Pyori, karena disamping mudah juga biaya yang dibutuhkan untuk test ini relatif cukup murah.
3 . Endoscopy dan biopsy cairan lambung dan duodenal
Cara ini adalah cara yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas mendekati 100 %, dimana pada test ini dimasukan tabung fleksibel yang dilengkapi dengan kamera kecil melalui saluran pencernaan menuju ke lambung dan duodenal untuk melihat adanya kolonisasi dari kuman H. pylori. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mengambil spesimen dari cairan lambung untuk dibiakkan dalam kultur, sehingga dapat diketahui secara pasti kuman apa yang telah berdiam didalam lambung serta menimbulkan masalah (3, 17).
Pengguanan pemeriksaan penunjang dalam menegakan diagnosis infeksi heliobacter pylori yang menyertai ulkus lambung atau duodenum, merupakan hal yang dapat menunjang pemberian terapi yang rasional dan adekuat dalam penanganan infeksi tersebut.
e . Terapi
Terapi yang diberikan pada pesian dengan infeksi heliobacter pylori, adalah diberikan antibiotik broad spektrum yang dapat mencapai kuman dalam suasana asam. Terapi infeksi heliobacter pylori diberikan dengan mengkombinasikan 3 macam obat, yang diberikan selama 10 hari sampai 2 minggu. Obat yang diberikan berupa antibiotik amoxicillin, tetracyline (tidak boleh diberikan pada anak-anak dibawah usia 12 tahun), metronidazol, atau clarithomycin yang ditambah dengan ranitidin Bismuth Citrate, Bismuth Subsalicylate, dan atau inhibitor pompa proton. Obat lain yang dapat diberikan bersamaan dengan obat-obat diatas adalah obat-obat simtomatis. Pemberian obat simtomatis untuk mengurangi keluhan yang biasanya makin memberat dan menyebabkan kondisi fisik dan psikis pasien menurun. Yang pada akhirnya dapat memperburuk keadaan pasien.oabt yang diberikan seperti H2 Bloker, atau inhibitor pompa proton. Keberhasilan pengobatan infeksi heliobacter pylori dengan mengunakan kombinasi beberapa obat mencapai 61 %-94 %. Kegagalan dalam pengobatan terjadi karena adanya resistensi kuman terhadap obat (1, 2, 3, 11, ).

DAFTAR PUSTAKA
1. Levenstein . S.,1998., Strees and peptic ulcer: Life beyond heliobacter.
http://www.bmj.com/article.html

2. Meurer .L.N., 2002., Managemen of Heliobacter Pylori
http://www.bmj.com/article.html

3. Health Communication Activity Division of Bacterial and Mycotis Disease .,2001.,Heliobacter Pylori and Peptic Ulcer Disease
http://www.bmj.com/article.html

4. American Gastroenterological,2002. Gastric cancer
http://www2.gastrojournal.org/scripts/html

5 . Tapan . E .,2000 Apakah Penyakit Maag itu Bisa Menular ?
http://groups.yahoo.com/group/management-message/html

6 . Djauzi . S . Infeksi Lambung. Kompas Minggu 31 Maret 2002
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/31/IPTEK/kons22.htm

7 . McCook . A ., 2003 News Idea on How Gut Bacteria Cause Ulcer, Cancer
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/news/fullstory/html

8 . Michell . H. M . et.al ,.2000., Heliobacter Pylori, Gastric ulcer, and Duodenal Ulcer
http://content.nejm,org/cgi/content/full/html

9 Uemura .N,M.D . et.al .,2000. Heliobacter Pylori Infection and the Development of Gastric Cancer,
http://content.nejm.org/cgi/content/short/html

10 . Ysubono .T,.et.al.,2002., Green Tea and the Risk of Gastric Cancer in Japan
http://content.nejm.org/cgi/content/short/html

11. Horrison., Neoplasma Esophagus dan lambung, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa Asdie., ed 13, vol 4, EGC, Jakarta, 2000, hal 1554

12. Tan H.T. et al., 2001., Obat-obat penting, ed 5, PT Elex Media Komputindo, Jakarta,2001, hal 602&798

13. National Cancer Institut .Robert N. Hoover,2002., Cancer- Nature,Nurture, or Both
http://content.nejm.org/cgi/content/short/html

14. Sarwono Waspadji, Tumor Lambung: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Noer S, Edotor, Jilid I, Edisi 3, FKUI, Jakarta, 1996, Hal 597

15. Fox J. G., 2002., Helicobacter pylori — Not a Good Bug after All
http://content.nejm.org/cgi/content/short/html

16. Oncology Channel.,2003.,: Gastric cancer
http://oncologychannel.com/gastriccancer/html

17. Jackson Gastroenterology, : Heliobacter Pylori
http://jacksongastroenterology.com/h.pylory/educatoin/html

18. Mira,1997., Memperbaiki Pola Makan Mencegah Kanker
http://members.tripod.com/~LIKonline/edisi/ed03.html


19. Prodia Indonesia,2003., Penanda Kanker Lambung
http://www.prodia.co.id/isi_manfaat_panel.html

20. The Health Resource, Inc., 2002.,Stomach cancer (Gastric Cancer)
http://www.thehealthresource.com/cancer_info/stomach_cancer.html

21. MayoClinic.com., 2001., Stomach Cancer
http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS/00301.html

22. Radikal Bebas dan Antioksidan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/11/fokus/306284.html

23. Radikal Bebas
http://mxl.itb.ac.id/pipermaili/dokter/20003-may/000149.html

24. Vitamin E mampu neutralkan Radikal Bebas
http://www.medic.uum.edu.mx/vitamin_E/html

25. Peranan Radikal Bebas dan antioksidan dalam kesehatan
http://dbp.gov.mx/mab 2000/penerbitan/rampak/premaar.pdf

26. Radikal Bebas
http://www.sunhope.co.id/ingid/produk/sod.html

Penatalaksanaan Peritonitis



TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.3
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.3
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.2


Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.2

2.2. Pengertian
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen4,5,6. Peritonitis seringkali disebabkan dari infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung, colon, kandung empedu atau apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah.6

2.3. Etiologi
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli).4
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar.7

2.4. Klasifikasi
Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer (spontan), sekunder (berhubungan dengan proses patologi yang berlangsung di organ dalam), atau tersier (infeksi berulang yang terjadi setelah terapi yang adekuat). Infeksi intaabdomen dapat dibagi menjadi lokal (localized) atau umum (generalized), dengan atau tanpa pembentukan abses.9
Penyebab terbanyak dari peritonitis primer adalah peritonitis yang disebabkan karena bakteri yang muncul secara spontan (Spontaneus Bacterial Peritonitis) yang sering terjadi karena penyakit hati kronis.
Table 1. Common Causes of Secondary Peritonitis
Source Regions Causes
Esophagus Boerhaave syndrome
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Stomach Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating
Iatrogenic*
Duodenum Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Biliary tract Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreas Pancreatitis
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Small bowel Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Large bowel and appendix Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus, salpinx, and ovaries Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tuboovarian abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
*Iatrogenic trauma to the upper GI tract, including the pancreas and biliary tract and colon, often results from endoscopic procedures; anastomotic dehiscence and inadvertent bowl injury (eg, mechanical, thermal) are common causes of leak in the postoperative period.
2. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis
Peritonitis
(Type) Etiologic Organisms Antibiotic Therapy
(Suggested)
Class Type of Organism
Primary Gram-negative E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas species (5%)
Proteus species (5%)
Streptococcus species (15%)
Staphylococcus species (3%)
Anaerobic species (<5%)>380C)
4. Produksi urin berkurang
5. Mual dan muntah
6. Haus
7. Cairan di dalam rongga abdomen
8. Tidak bisa buang air besar atau kentut
9. Tanda-tanda syok
Nyeri perut yang terjadi merupakan nyeri yang somatik. Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi, misalnya rangsangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri yang timbul dapat lokal, dan dapat pula merata pada seluruh perut tergantung luasnya rangsangan pada peritoneum. Karena rangsangan tersebut berlangsung terus pada peritoneum, rasa nyeri dirasakan terus menerus.8
Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau proses radang.3
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsangan peritoneum dan menyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Setiap gerakan penderita, baik berupa gerak tubuh maupun gerak napas yang dalam atau batuk, juga akan menambah rasa nyeri sehingga penderita gawat perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas dangkal, dan menahan batuk.3

2.7. Diagnosis
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali6. Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.2
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal.9

Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.9
Anamnesis mengandung data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis gawat abdomen. Sifat, letak dan perpindahan nyeri merupakan gejala yang penting. Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya syok, nyeri tekan, defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk menegakkan diagnosis.3

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.3
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.9

Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.2

Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.8

Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.8

Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.3
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.8

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis.2,3
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.3

Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan, misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan Roentgen dan endoskopi.
Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat perut.3
Pencitraan diagnostik yang perlu dilakukan biasanya foto abdomen 3 posisi (supine, upright and lateral decubitus position) untuk memastikan adanya tanda peritonitis, udara bebas, obstruksi, atau paralisis usus. Pemeriksaan ultrasonografi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis kelainan hati, saluran empedu, dan pankreas.3
Kadang-kadang, aspirasi cairan dengan jarum (peritoneal fluid culture) dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium. Dimana cairan yang diambil diperiksa untu mengetahui organisme penyabab, sehingga dapat diketahui antibiotik yang efektif yang dapat digunakan. Prosedur ini cukup sederhana, dan dapat dilakukan pada saat pasien berdiri atau pun berbaring.6


Dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan iritasi peritoneal, pemeriksaan fisik secara komplit, adalah penting. Proses penyakit di thoraks dengan iritasi diafragma (misal: emyema), proses ekstra peritoneal (misal: pyelonefritis, cystitis, retensi urin) dan proses pada dinding abdomen (misal: infeksi, hematoma dari rektus abdominis) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang serupa dengan peritonitis. Selalu periksa pasien dengan hati-hati untuk menyingkirkan hernia inkarserat yang juga menimbulkan gejala serupa.9

2.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.7
Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1) kontrol infeksi yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki fungsi organ, dan (4) mengontrol proses inflamasi.9
Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis. Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:
1. Pre Operasi
 Resusitasi cairan
 Oksigenasi
 NGT, DC
 Antibiotika
 Pengendalian suhu tubuh
2. Durante Operasi
 Kontrol sumber infeksi
 Pencucian rongga peritoneum
 Debridement radikal
 Irigasi kontinyu
 Ettapen lavase/stage abdominal repair
3. Pasca Operasi
 Balance cairan
 Perhitungan nutrisi
 Monitor vital Sign
 Pemeriksaan laboratorium
 Antibiotika

2.9. Prognosis
Angka mortalitas umumnya adalah 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis, antara lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi
5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. M Qureshi, Abrar, ...[et al.], 2005. Predictive Power Of Mannheim Peritonitis Index. Original Article.
2. Principles of Surgery/ editor, Seymour I. Schwartz . . . [et al.], —7th ed. McGraw-Hill, A Division of The McGraw-Hill Companies. An Enigma Electronic Publication, 1999.
3. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.
4. The Merck Manual (Seventeenth Edition), Copyright © 1999 by Merck & Co., Inc.
The Merck Manual of Geriatrics (Second Edition), Copyright © 1995 by Merck & Co., Inc.
5. Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
http://medlineplus.gov/
6. Anonim, 2003. Peritonitis. The Merck Manuals.
http://www.merck.com/
7. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit = Pathophysiology.clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson; alih bahasa, Peter Anugerah; editor, Caroline Wijaya. –Ed.4.- Jakarta: EGC, 1994.
8. Reksoprodjo, Soelarto, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
9. Genuit, Thomas,...[et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Instant Access to The Minds of Medicine
http://www.emedicine.com/.

Snake Bite, Pedoman Penatalaksanaan


TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).


2.2 Jenis – jenis ular berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
 Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
 Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
 Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
 Familli Colubridae, misalnya ular pohon


Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
 Bentuk kepala segi empat panjang
 Gigi taring kecil
 Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular berbisa:
 Kepala segi tiga
 Dua gigi taring besar di rahang atas
 Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
 Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
 Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

2.3 Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

2.4 Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
 Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
 Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
 Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
 Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.
 Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
 Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
 Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
 Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

Gigitan Viperidae:
 Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
 Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hidropiidae:
 Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
 Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
 Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin
 Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting

Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal
1. Tanda gigi taring
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Bruising
5. lymphangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum
Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration

Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva

Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
 Perdarahan dari luka gigitan
 Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial

Neurologik (Elapidae, Russell’s viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy” eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis

Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut

Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)

Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism.
(Warrell, 1999)

2.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
 Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
 EKG
 Foto dada
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
 Anafilasis
 Trombosis vena bagian dalam
 Trauma vaskular ekstrimitas
 Scorpion Sting
 Syok septik
 Luka infeksi

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
 Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
 Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
 Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu – ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
 Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
 Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
 Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
 Penatalaksanaan jalan napas
 Penatalaksanaan fungsi pernapasan
 Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
 Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
 Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
 Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
 Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
 25-50 LD50 bisa Bungarus
 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
 Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Pedoman terapi SABU menurut Luck
 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
• Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
• Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
• Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
• Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
• Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
• Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
• Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
• Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
• Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
• Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
• Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
 Terapi profilaksis
• Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
• Beri toksoid tetanus
• Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
 Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
 Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
 Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak
 Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
 Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

Hirschprung Disease (Megacolon Congenital)



TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil.5
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbebtang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inci.5


Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid.
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.6

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner).6 Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.

II.2. Fisiologi Usus Besar
Fungsi usus besar yang utama adalah absorbsi air dan elektrolit. Setiap hari kolon mengabsorbsi ±600 ml air. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000 ml / hari, jika kapasitas ini terlampaui maka akan terjadi diare. Berat akhir feses normal yang dikeluarkan sekitar 200 gr dengan komposisi terdiri dari 75% berupa air dan sisanya berupa residu makanan yng tidak diabsorbsi, bakteri, sel epitel yang mengelupas dan mineral yang tidak diabsorbsi.
Proses pencernaan makanan yang terjadi di usus besar dilakukan dengan bantuan bakteri di usus besar. Bakteri ini berfungsi mensintesis vit. K dan beberapa vit. B dan membantu pembusukan beberapa zat makanan seperti protein dan karbohidrat, serta membentuk berbagai gas yang dapat membantu pembentukkan flatus di kolon. Gas-gas tersebut adalah NH3, CO2, H2, H2S, dan CH4. Beberapa gas ini dikeluarkan dalam feses dan sisanya diabsorbsi dan diangkut ke hati untuk diubah menjadi senyawa kurang toksik dan diekskresikan melalui saluran kemih.
Pencernaan makanan di usus besar berlangsung karena adanya gerakan peristaltic yang propulsif. Ada dua jenis gerakan peristaltik yang propulsif yaitu: pertama adalah kontraksi lamban dan tidak teratur yang berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke depan menghambat beberapa haustra. Kedua adalah gerakan peristaltik massa yaitu kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan ini mengerakkan massa ke depan yang akhirnya merangsang defekasi
Adanya gerakan propulsi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter ani eksterna bersifat voluntar sedangkan sfingter ani interna dikendalikan sistem saraf otonom. Saat rektum yang mengalami distensi berkontraksi, otot levator ani relaksasi sehingga menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot-otot sfingter ani eksterna dan interna relaksasi waktu anus tertarik ke atas melebihi tinggi massa feses. Defekasi dapat dipercepat dengan adanya peningkatan tekanan intraabdomen. Defekasi juga dapat dihambat oleh kontraksi voluntar otot sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara betahap akan relaks dan keinginan defekasi menghilang.

II.3. Definisi Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus Aurbachii maupun pleksus Meissner pada kolon yang mengakibatkan hambatan gerakan peristaltik, sehingga akan terjadi ileus fungsional.1
II.4. Etiologi
Penyakit Hirschprung terjadi saat perkembangan fetus dimana terjadi kegagalan perkembangan serabut saraf, kegagalan migrasi serabut saraf, atau terhentinya perkembangan serabut saraf pada segmen usus.
Faktor genetik juga berperan dalam menyebabkan penyakit Hirschprung. 10% anak dengan Down syndrome (abnormalitas kromosom) menderita penyakit Hirschprung. Tahun 2001 teknik diagnostik molekuler menemukan 6 gen yang terlibat sebagai penyebab seseorang rentan menderita penyakit Hirscprung. Enam gen tersebut adalah gen RET, gen sel glial yang berperan sebagai neurotropik, gen reseptor B-Endothelin, enzim pengubah endothelin, gen Endothelin-3, SRY berhubungan dengan faktor transkripsi SOX 10.3
II.5. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1 kasus diantara 5400-7200 kelahiran hidup.4
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan tersebut yaitu:
1. Mortalitas / morbiditas
Angka kematian bayi dengan megacolon aganglionik yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan angka kematian bayi yang mendapat tindakan pembedahan sangat rendah. 30% kematian penyakit Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Komplikasi tindakan pembedahan adalah 5% karena kebocoran anastomosis, 5-10% karena striktura anastomosis, 5% karena obstruksi intestinum, 5% karena abses pelvis, 8% karena infeksi luka.4
2. Ras
Penyakit ini tidak berhubungan dengan ras.
3. Jenis kelamin
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita, dengan rasio perbandingan 4:1. Namun jika segmen usus yang aganglionosis lebih panjang maka insidensi pada wanita lebih besar daripada laki-laki.4
4. Usia
Penyakit Hirschprung tidak didapatkan pada bayi premature. Awal 1900an penyakit ini terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Tahun 1950-1970 terjadi pada usia 2-6 bulan. Saat ini hampir 90% penyakit Hirschprung terjadi pada periode neonatus.4
II.6. Klasifikasi Penyakit Hirschsprung
Klasifikasi penyakit Hirschsprumg adalah sebagai berikut: 2
1. Hirschsprung segmen pendek
Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
2. Hirschsprung segmen panjang
Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid.
3. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik mengenai seluruh kolon.
4. Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
II.7. Patofisiologi
Motilitas normal saluran cerna secara primer diatur oleh serabut saraf intrinsik. Serabut saraf intrinsik terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil. Ganglia ini berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi otot halus (lebih dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat dalam semua kerja usus, yaitu absorbsi, sekresi, dan motilitas.
Serabut saraf ekstrinsik terdiri dari serabut kolinergik dan adrenergik. Serabut kolinergik berperan dalam kontraksi usus, sedangkan serabut adrenergik berperan dalam menghambat kontraksi usus. Walaupun begitu jika inervasi serabut saraf ekstrinsik hilang, namun fungsi usus tetap adekuat karena yang lebih berperan dalam mengatur fungsi usus adalah serabut saraf intrinsik.
Pada penyakit ini terdapat absensi ganglion Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. 70-80% terbatas di daerah rectosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus
Aganglionosis mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam evakuasi feses ataupun udara. Obstruksi yang terjadi secara kronis akan menampilkan gejala klinis berupa gangguan pasae usus. Tiga tanda yang khas adalah mekonium keluar >24 jam, muntah hijau dan distensi abdomen. 8
Penampilan makroskopik yaitu bagian kolon yang aganglionik terlihat spastik, lumen kolon kecil, kolon tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Gangguan defekasi ini berakibat kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon.8
II.8. Diagnosis
Penyakit Hirschprung pada neonatus harus dibedakan dengan penyakit obstruksi saluran cerna lainnya. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta disertai dengan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
- Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya keluar >24 jam.
- Adanya muntah berwarna hijau.
- Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.9
- Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.6
Pemeriksaan Fisik
- Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi
- Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi.
Pemeriksaan penunjang
A. Biopsi
Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara yaitu biopsy rectal dengan pengambilan sample yang tebal dan biopsy rectal dengan penyedotan sederhana. Keuntungan cara yang pertama adalah hasil PA yang didapatkan mempunyai gambaran yang khas namun cara ini agak rumit karena sebelum biopsy dilakukan prosedur seperti operasi dengan anastesi umum, serta resiko perdarahan lebih besar. Cara yang kedua mempunyai keuntungan berupa prosedurnya yang tidak rumit, resiko perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran PA tidak khas.
Hasil PA penyakit Hirschprung pada umumnya didapatkan dinding rectum dari lapisan mukosa sampai muskularis tidak didapatkan adanya ganglion Meissner dan Aurbachii.
B. Foto Rontgent
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi .9
II.9. Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner dan Aurbach.

3. Konstipasi psikogenik
Pada anak-anak berusia 4-5 tahun dimana mereka malas defekasi (sering 1 minggu sekali) sehingga perut tampak kembung dan pertumbuhan tubuh buruk. Biasanya pada anak-anak ini ada sebabnya, misalnya ketakutan, tidak puas, merasa terasing, dan lain-lain.
II.10. Terapi
1. Tindakan pertama pada neonatus
Dibuat kolostomi sementara pada bagian usus yang sudah mengandung ganglion; biasanya dibuat sigmoidostomi one loop, yaitu anus dan ujung paling proksimal dari bagian usus yang aganglioner dijahit rapat / ditutup kemudian bagian sigmoid yang mengandung ganglion ini dimuarakan pada kulit.9
2. Tindakan definitif
Adalah membuang bagian yang aganglioner, tapi tetap mempertahankan anus.
bermacam-macam teknik operasi, yaitu:
- Swenson
- Rehbein / David State
- Duhamel
- Soave
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner dan bagian sisa di rektum dibalikkan keluar, kemudian bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar anus dan dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didorong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson.9
Operasi ini memerlukan waktu lama dan dapat dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Sekarang ternyata banyak anak laki-laki yang menjalani opersi dengan teknik ini mengalami impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.9
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di dalam; ini berarti bagian yang ditinggalkan itu harus lebih panjang untuk memungkinkan penjahitan yang berarti pula bahwa ada bagian aganglioner yang ditinggalkan.
Menurut Rehbein walaupun cara ini tidak sehebat Swenson tapi cukup memadai karena anak dapat defekasi 2-3 hari sekali dan tidak timbul kelainan impotensi, akan tetapi cara ini mudah terjadi residif.
c. Metode Duhamel
Bagian yang aganglioner tidak dibuang, hanya pada bagian proksimal dari bagian ini dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang sampai pada bagian yang berdiameter normal dan ini kemudian ditarik ke arah anal disambungkan tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang dari rektum. Jadi dilakukan colo rectostomy end to side, dengan ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang aganglioner tidak dipakai.
Menurut metode Duhamel ini, saraf-saraf yang melekat pada prostat tidak diganggu gugat, trauma operasi kecil sehingga dapat dilakukan pada bayi-bayi usia 8-9 bulan, bahkan ada yang berani pada bayi usia 4 bulan. Malah pada bayi-bayi yang datang terlambat, misalnya telah berusia 3-4 bulan dapat langsung dikerjakan metode Duhamel tanpa mengadakan kolostomi dahulu.9
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut
3. Terapi medikamentosa
Digunakan antibiotik yang potensial yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri seperti bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob. Sebaiknya sebelum menentukan jenis antibiotik yang dipilih dilakukan kultur sensitivitas sehingga terapi yang diberikan efektif.4
- Ampicilin inj 25mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri gram positif
- Gentamicin inj 2,5mg / kg BB 3 x 1 untuk membunuh bakteri gram negatif
- Metronidazole inj 7,5mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri anaerob
4. Terapi non medikamentosa
- Diet : sebelum operasi pasien dinjurkan untuk puasa, setelah dilakukan operasi dan fungsi usus dapat bekerja optimal dapat diberikan ASI atau susu formula melalui NGT, dan untuk beberapa pasien dapat diberikan diet tinggi serat seperti buah dan sayuran
- Selama 6 minggu pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitas agar luka operasi dapat sembuh baik.4
II.11. Komplikasi
1. Enterocolitis
- Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi. Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang terkena panjang.4
- Gejala klinis berupa: diare eksplosif, distensi abdomen, demam, muntah, dan lethargy.4
- Cara mengatasinya yaitu dengan pemberian antibiotik dosis tinggi secara intravena dan irigasi yang agresif. Beberapa ahli menyebutkan dapat dilakukan enterostomi pada bagian proksimal dari zona transisi.4

2. Komplikasi pada saluran pencernaan akibat prosedur pembedahan
- Peningkatan resiko enterokolitis setelah operasi dengan metode Swenson
- Peningkatan resiko konstipasi setelah operasi dengan metode Duhamel
- Peningkatan resiko diare dan inkontinensia dengan metode Soave
3. Komplikasi umum berupa: kebocoran anastomosis, striktura anastomosis, obstruksi usus, abses pelvis dan infeksi luka operasi.4
II. 12. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Komite Medik RSUP DR Sardjito, (1997), Standar Pelayanan Medis RSUP DR Sardjito, Bagian 3, Bab XVII, hal. 144-5, Medika FK UGM, Yogyakarta
2. Sjamsuhidajat dan Wim de jong, (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, Bagian 3, Bab 29, hal. 908-10, EGC, Jakarta
3. Anonim, (2004), Hirschprung’s disease,
http://www.caremark.com/wps/portal/_s.155/5522/.cmd/ad/.pm/-/.c/1703/.ce/5535/.p/3711/_s.155/5522?pc_3711_docid=CMS-2-MM000659
4. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://www.emedicine.com/med/topic 1016. htm
5. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, (1995), Patofisiologi :Konsep Klinis, Proses-Proses Penyakit, Bab 26, hal. 409-12, EGC, Jakarta
6. Sabiston, (1994), Buku Ajar Bedah bagian 2, Penyakit kolon dan rektum, Bab 26, hal. 14-18, EGC, Jakarta
7. Richard E. Behrman dan Victor C. Vaughan, (1993), Nelson: Ilmu Kesehatan Anak bagian 2, Bab 29, hal. 426-29, EGC, Jakarta
8. Staf Pengajar FK UI Bagian Bedah, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bedah anak, Bab 3, hal. 139-41, binarupa Aksara, Jakarta
9. Anonim, (1987), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Bedah khusus anak: Penyakit Hirschprung, Bab IV, hal. 140-6, Aksara Medisina, Jakarta

Karsinoma Kolorectal, Staging and Grading



TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karsinoma kolorektal adalah keganasan yang terjadi pada kolon dan rektum.

2.2 Etiologi
Terlepas dari faktor genetik yang diturunkan, faktor terpenting pada etiologi pada kanker kolorektal ialah faktor lingkungan. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa faktor tersebut adalah diet. Diet mempengaruhi bakteri flora usus besar sewaktu transit di usus, serta mempengaruhi jumlah selulosa, kandungan asam amino dan asam empedu pada usus. Saat ini dikenal suatu bakteri yakni nuclear dehydrogenating clostridia (NDC), bakteri ini dapat bekerja pada asam empedu untuk memproduksi karsinogen. Hal serupa yaitu tranformasi bakteri dari asam amino juga menghasilkan karsinogen (atau ko-karsinogen). Dilain pihak, kandungan selulosa yang tinggi yang dapat difermentasikan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak yang mudah berubah, sehingga bersifat protektif dalam pemenuhan nutrisi dan membantu maturasi sel epitel. Dengan demikian, jenis diet yang berhubungan dengan kanker kolorektal adalah tinggi lemak, tinggi protein dan rendah serat. Diet tinggi lemak akan meningkatkan asam empedu, kemudian asam empedu yang tinggi di dalam feses akan bereaksi dengan NDC. Diet tinggi protein menguntungkan tranformasi asam amino oleh bakteri. Sedang diet rendah serat akan mengurangi asam lemak yang mudah berubah dan transit intestinal menjadi lebih lama sehingga memberi lebih banyak waktu bagi bakteri untuk beraksi terhadap kandungan feses serta lebih banyak waktu bagi karsinogen untuk kontak dengan mukosa. Faktor-faktor inilah yang diperhitungkan sebagai penyebab tingginya insidensi kanker kolorektal di negara maju


2.3 Letak
Sekitar 70-75% karsinoma kolorektal terletak pada rektum dan sigmoid. Keadaan ini sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa dan kolitis amuba kronik.

Letak Persentase
Sekum dan kolon asendens 10%
Kolon transversum termasuk fleksura hepar dan lien 10%
Kolon desendens 5%
Rektosigmoid 75%


2.4 Patologi
Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma kolorektal. Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk seperti bunga kol dan ditemukan terutama di sekum dan kolon asendens. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di kolon desendens, sigmoid, dan rektum. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada tahap lanjut, sebagian besar karsinoma kolon mengalami lserasi menjadi tukak maligna.

2.5 Faktor Resiko
1. Umur lebih dari 50 tahun
2. Ras (Afrika, Amerika, Hisponic)
3. Diet (gizi buruk, tinggi lemak, kurang serat)
4. Polip kolon
5. Familial poliposis
6. Mempunyai riwayat karsinoma kolorektal
7. Riwayat keluarga karsinoma kolorektal
8. karsinoma ovarii
9. karsinoma uterus
10. karsinoma mammae
11. Inflamatory bowel disease
12. Kolitis ulseratif
13. Aktivitas fisik kurang
14. Obesitas
15. Overweight
16. Alkohol
17. Merokok

2.6 Gejala dan Tanda
Tanda dan gejala karsinoma kolorektal secara umum adalah sebagai berikut :
 Perubahan pola BAB
 Diare
 Obstipasi
 Perasaan BAB tidak selesai
 Darah dalam feses (merah cerah atau hitam)
 Perdarahan gastrointestinal
 Perut sakit
 Penuh pada perut
 Kram perut
 Berat badan nenurun
 Mudah lelah
 Muntah
 Anemia
 Kentut
 Anoreksia

Berikut adalah tanda dan gejala karsinoma kolorektal berdasarkan letaknya :
Kolon kanan :
- Aspek klinis : kolitis
- Nyeri : karena penyusupan
- Defekasi : diare atau diare berkala
- Obstruksi : jarang
- Darah pada feses : samar
- Feses : normal atau diare
- Dispepsi : sering
- Memburuknya keadaan umum : hampir selalu
- Anemia : hampir selalu
Kolon kiri :
- Aspek klinis : obstruksi
- Nyeri : karena obstruksi
- Defekasi : konstipasi progresif
- Obstruksi : hampir selalu
- Darah pada feses : samar atau makroskopik
- Feses : normal
- Dispepsi : jarang
- Memburuknya keadaan umum : lambat
- Anemia : lambat
Rektum :
- Aspek klinis : proktitis
- Nyeri : tenesmi
- Defekasi : tenesmi terus-menerus
- Obstruksi : tidak jarang
- Darah pada feses : makroskopik
- Feses : perubahan bentuk
- Dispepsi : jarang
- Memburuknya keadaan umum : lambat
- Anemia : lambat



2.7 Stadium Karsinoma Kolon Menurut DUKES
Menurut DUKES, klasifikasi karsinoma kolon dibagi menjadi :
A 1 Tidak lebih dalam daripada muscularis mukosa
A 2 Tidak lebih dalam daripada sub mukosa
B 1 Pertumbuhan kedalam dinding otot, tetapi tidak menembus
B 2 Pertumbuhan menembus semua lapisan dinding otot sampai jaringan sekitar
C 1 Ada metastasis kelenjar limfe di sekitar karsinoma. Tumor primer tidak menembus dinding usus.
C 2 Metastase kelenjar limfe. Tumor primer menembus dinding usus.
D Metastase jarak jauh dan atau tumor primer yang in operabel.
Menurut TMN (The American Joint Committe on Cancer/AJCC), klasifikasi karsinoma kolon dibagi menjadi :
Stage 0 Tis,N0,M0
Stage I T1,N0,M0/T2,N0,M0
Stage II T3,N0,M0/T4,N0,M0
Stage III Any T,N1,M0
Any T, N2,M0
Stage IV Any T,AnyN,M0
Keterangan : definisi TNM
Tumor Primer (T)
Tis : Karsinoma In situ : intra epitel atau invasi dari lamina propia (intra mucosal)
T1 : Tumor yang menyerang sub mukosa
T2 : Tumor yang menyerang lapisan otot
T3 : Tumor yang menyerang mulai lapisan otot sampai sub serosa atau sampai sekitar kolon non peritoneum
T4 : Tumor secara langsung menyerang organ-organ lain/jaringan-jaringan lain dan perforasi sampai peritoneum visceral
Regional Limfonodi (N)
N0 : Tidak ada metastasi kelenjar limfonodi regional
N1 : Metastasi 1-3 kelenjar limfonodi regional
N2 : Metastasi 4 atau lebih kelenjar limfonodi regional
Metastasis Jauh (M)
M0 : Tidak ada metastasi jauh
M1 : Metastasi jauh
Menurut selnya, klasifikasi karsinoma kolon dibagi menjadi :
Adenokarsinoma (kasus terbanyak)
Adenokarsinoma mucinous
Adenokarsinoma signet ring
Neuroendokrin

2.8 Pertumbuhan dan Penyebaran
Kebanyakan penderita dengan metastase karsinoma kolorektal juga mempunyai metastase ke hepar. Melalui vena mesentarial, vena kolika atau vena mesenterika inferior dan vena porta sel-sel tumor akhirnya sampai ke hepar. Aliran limfe berjalan melalui saluran limfe di mesenterium, yang berada di sepanjang arteri dan vena. Di dalam mesenterium kebanyakan metastase kelenjar limfe terdapat di sepanjang aorta. Penyebaran dapat juga terjadi di dalam rongga peritoneum, karena sel-sel tumor, yang tumbuh menembus sampai di serosa, terlepas dan melekat pada peritoneum dan bertumbuh lanjut.

2.9 Pemeriksaan Karsinoma Kolorektal
Pemeriksaan karsinoma kolorektal dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Pemeriksaan Klinik : anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Klinik
Anamnesis :
 keluhan utama dan keluhan-keluhan penyerta, serta lamanya keluhan tersebut timbul
 Riwayat penyakit atau progresifitas penyakit
 Pengobatan yang telah diberikan dan bagaimana hasilnya
 Faktor etiologi dan faktor resiko
Pemeriksaan fisik :
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukkan keadaanyang sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba daripada massa di bagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Foto kolon dengan barium kontras merupakan kelengkapan dalam menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang :
Prosedur deteksi dini pada karsinoma kolorektal yang direkomendasikan oleh American Cancer Society (ACS) diantaranya adalah : annual rectal digital examination (dimulai sejak usia 40 tahun), annual fecal hemoccult screening (dimulai sejak usia 50 tahun), dan sigmoidoskopi setiap 3-5 tahun (dimulai sejak usia 50 tahun pada penderita yang sudah menunjukkan gejala, tetapi tanpa riwayat faktor resiko tinggi terhadap karsinoma kolorektal). Oleh karena itu deteksi dini pada penderita yang memiliki riwayat faktor resiko sebaiknya dilakukan lebih sering dan dilakukan pada usia yang lebih awal, tergantung pada perkembangan dari faktor resiko tersebut. Sangat jelas bahwa metode deteksi dini lebih baik digunakan hanya pada 38% kasus karsinoma kolorektal yang terlokalisir pada saat diagnosis ditetapkan.
Diagnosis karsinoma kolorektal tergantung pada jenis metodenya. Antara lain :
1. Barium enema
Barium enema merupakan suspensi barium yang di masukkan ke dalam usus sebagai bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi saluran pencernaan khususnya usus bagian bawah (usus besar). Dapat berupa pemeriksaan kontras ganda (double contrast barium enema). Antusiasme terhadap penggunaan kontras barium enema ganda dalam kolonoskopi telah mengalami penurunan beberapa tahun terakhir, meskipun biaya penggunaannya lebih murah. Adapun alasan dari penurunan penggunaan bahan ini sebagai alat pendiagnosis yakni karena kurangnya sensitifitas dari tes tersebut dalam mendeteksi polyp dengan ukuran kurang dari 1 cm serta dalam mendeteksi polyp yang terletak pada satu lumen yang sulit untuk di deteksi misalnya : sigmoid, recto sigmoid, hepar, dan cekungan pada limpa. Meskipun barium enema memiliki keterbatasan namun ketika kolonoskopi tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka kontras barium enema ganda dapat menjadi alternatif bila di kombinasikan dengan sigmoidoskopi fleksibel kecuali pada keluarga dengan riwayat polyp, riwayat kanker kolon serta serta riwayat penyakit radang usus besar (inflammatory bowel disease), oleh karena pada keadaan-keadaan tersebut dibutuhkan perhatian secara intensif berkaitan dengan mukosa kolon serta tindakan biopsi atau pengangkatan polyp yang meningkat.
2. Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan pemeriksaan endoskopi kolon, baik secara transabdominal selama laparatomi atau transanal menggunakan endoskopi serat fiber. Kolonoskopi tetap menjadi gold standar dalam memberikan gambaran pada biopsi dan pengangkatan polyp kolon. Pengangkatan dari semua polyp dengan menggunakan kolonoskopi telah banyak dilakukan untuk mengurangi resiko kanker kolon sekitar 76 hingga 90%. Pada tahun 1994, lebih dari 2.000.000 tindakan kolonoskopi dilakukan di US dan lebih dari 650.000 diantaranya menjalani poypectomy (eksisi polip). Adapun indikasi dari kolonoskopi antara lain : positif FOBT (fecal occult blood testing), polyp adenomatous pada sigmoidoskopi fleksibel atau pada kontras barium enema, anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pria atau post menopause pada wanita, perdarahan rektum yang tidak tampak keluar dari anus atau melena yang tidak tampak keluar dari traktus gastrointestinal bagian atas, gambaran colotis ulseratif kronik pada fleksibel sigmoidoskopi yang meluas, barium enema atau sigmoidoskopi fleksibel yang menunjukkan kanker kolon non obstruksi, kanker kolorektal atau polyp yang besar, diare yang bermakna secara klinis namun tidak diketahui secara jelas penyebabnya, identifikasi intraoperatif terhadap tempat lesi yang tidak dapat dideteksi dengan inspeksi luar saja maupun palpasi pada saat pembedahan.
3. Sigmoidoskopi fleksibel
Sigmoidoskopi merupakan pemeriksaan langsung kedalam kolon sigmoid. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mencapai setinggi kolon descenden dan dapat dilakukan oleh seorang dokter umum yang terlatih.Sigmoidoskopi telah terbukti mengurangi angka insidensi dan angka kematian dari kanker kolon secara langsung dengan deteksi dini. Bagaimanapun juga sigmoidoskopi fleksibel bukanlah metode yang adekuat dalam menyaring kanker kolon yang diturunkan dan merupakan 2/3 dari lesi yang tumbuh pada cekungan limpa bagian proksimal. Dalam kasus ini kolonoskopi sebaiknya dilakukan. Sigmoidoskopi fleksibel yang dilakukan tanpa pemberian obat penenang biasanya dilakukan di tempat praktek dokter umum. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi sekitar 65%-75% polyp dan 40%-65% kanker kolorektal.

4. Tes immunologi CEA (carcino embryonic antigen)
CEA merupakan petanda tumor (tumor marker). Petanda tumor sendiri adalah molekul protein berupa antigen, enzim, hormon, protein, dsb yang dalam keadaan normal tidak atau hanya sedikit sekali diproduksi oleh sel tubuh. CEA merupakan petanda tumor pada kanker mamma dan kanker kolorektal. Penyaringan pasien kanker kolorektal dengan menggunakan tes CEA, tidak direkombinasikan oleh karena CEA umumnya muncul setelah tumor membesar dan telah menyebar. CEA tidak spesifik untuk kanker kolon dan CEA dapat muncul pada perokok meski tidak menderita kanker.

2.10 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, colok dubur, dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter kiri, atau infiltrasi ke vesica urinaria, serta hati dan paru untuk metastase.

2.11 Diagnosis banding
Beberapa kelainan di rongga perut yang bergejala sama atau mirip dengan karsinoma kolorektal adalah ulkus peptik, neoplasma lambung, kolesistitis, abses hepar, abses appendiks, massa periappendikuler, amuboma, divertikulitis, kolitis ulserosa, dan polip rektum.




2.12 Penataksanaan
Terapi Bedah
Pada karsinoma rektum, teknik pembedahan yang dipilih tergantung dari letaknya, khususnya jarak batas bawah karsinoma dan anus. Sedapat mungkin anus dengan sfingter eksterna dan interna akan dipertahankan untuk menghindari anus preternaturalis. Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun jauh. Pada tumor sekum atau kolon asendens dilakukan hemikolektomi kanan, kemudian anastomosis ujung ke ujung. Pada tumor di fleksura hepatika dilakukan juga hemikolektomi. Pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi kolon transversum kemudian anastomosis ujung ke ujung, sedangkan tumor kolon desendens dilakukan hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmoid dilakukan reseksi sigmoid dan pada tumor rektum sepertiga proksimal dilakukan reseksi anterior. Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini, isi anus turut dikeluarkan. Tumor yang teraba pada colok dubur umumnya dianggap terlalu rendah untuk dilakukan preservasi sfingter anus. Hanya pada tumor dini eksisi lokal dengan mempertahankan anus dapat dipertanggungjawabkan. Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperineal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.

Terapi bedah berdasarkan stagenya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Stage 0 :
a. Eksisi lokal atau polypectomy simple dengan pembersihan hingga ke garis tepi.
b. Reseksi lokal pada lesi yang luas yang tidak dapat dilakukan dengan eksisi lokal.
Stage I :
Pembedahan dengan reseksi luas serta anastomosis
Stage II :
1. Pembedahan reseksi luas serta anastomosis
2. Pembedahan lanjutan.
Stage III :
Pembedahan reseksi luas serta anastomosis, terutama pada pasien yang bukan kandidat dari clinical trials, post operasi kemoterapi dengan fluouracil (5-FU)/leucovorin selama 6 bulan.

Stage IV :
1. Bedah reseksi/anastomosis atau pembuatan jalan pintas pada obstruksi atau perdarahan pada lesi primer pada kasus tertentu.
2. Bedah reseksi pada metastase yang masih terisolasi (hati, paru, ovarium)
3. Kemoterapi
4. Evaluasi obat baru pada pemeriksaan klinik dan terapi biologi
5. Terapi radiasi pada tumor primer dengan perdarahan ringan, obstruksi atau nyeri. Terapi radiasi ringan dapat juga ditujukan pada metastase lainnya dengan indikasi yang sama.



2.13 Radioterapi karsinoma kolorektal
Pengertian
Adalah pelayanan radioterapi untuk karsinoma kolorektal menggunakan radiasi pengion (Co.60), dan merupakan terapi komplemen untuk kasus-kasus yang masih pada tingkat operable, dan merupakan pilihan utama untuk kasus-kasus inoperable sebagai terapi paliatif untuk menjaga kualitas hidup pasien.
Tujuan
 Sebagai terapi komplemen terhadap modalitas terapi bedah pada kasus stadium dini
 Paliatif untuk kasus stadium lanjut
Indikasi
 Karsinoma kolorektal stadium dini pasca bedah
 Karsinoma kolorektal stadium lanjut (inoperable)
Kontraindikasi
 Keadaan pasien buruk
Tata Laksana Teknis Radioterapi Pada Karsinoma Kolorektal
Perencanaan radioterapi pada karsinoma koorektal dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :
- Pembuatan foto simulator
- Perencanaan dosis penyinaran
- CT-Scan dosimetri (pelvis)
- Pembuatan kurva isodosis
Karsinoma kolon :
-Radioterapi pada karsinoma kolon tidak dilakukan pasca bedah (hemicolectomy) untuk kasus-kasus yang masih operabel
- Untuk kelompok ini hanya diberikan sitostatika tunggal 5-FU secara serial. Dimulai dengan loading dose selama 4 hari berturut-turut sebanyak 500 mg / i.v. kemudian dilanjutkan dengan 500 mg / i.v. pada hari ke 29, selanjutnya diberikan 500 mg / i.v. setiap minggu.
- Dilakukan evaluasi kadar CEA setiap 3 bulan
Stadium II (T3-4 N0 M0)
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50 Gy. Dosis fraksinasi 2 Gy, 5 kali dalam 1 minggu, dengan arah penyinaran depan – belakang whole pelvis atau multi-field disesuaikan dengan distribusi dosis pada perhitungan menggunakan TPS. Dan diberikan kemoterapi 5-FU secara concurrent.
Stadium III (T1- 4 N1 M0)
Stadium T1-2 N1 M0
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50-60 Gy. Dosis fraksinasi 2 Gy, 5 kali dalam 1 minggu, dengan penentuan arah penyinaran depan - belakang whole pelvis atau multi-field disesuaikan dengan distribusi dosis pada perhitungan dengan menggunakan TPS. Dan diberikan kemoterapi 5 -FU secara concurrent.
Stadium T3-4 N1 M0
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50-60 Gy. Dosis fraksinasi 2 Gy, 5 kali dalam 1 minggu, dengan penentuan arah penyinaran sama dengan stadium T1-2 N1 M0. Diberikan booster lapangan kecil (tumor bed) dengan dosis 10 Gy dan dosis fraksinasi 2 Gy. Diberikan juga kemoterapi (5-FU) secara concurrent.
Stadium IV (T1-4 N1,2,4 M0-1)
Stadium T1-4 N4 M0
Dilakukan radioterapi dengan metode dan dosis sama dengan stadium T3-4 N1 M0 serta dikombinasikan dengan kemoterapi (5-FU) secara concurrent.
Stadium T1-4 N1,2,4 M1
Tidak diberikan radioterapi, hanya dilakukan kemoterapi.
Karsinoma Rektum
- Radioterapi pada karsinoma rektum diberikan untuk tujuan kuratif maupun paliatif. Radioterapi kuratif dilakukan pra bedah maupun pasca bedah.
Radioterapi kuratif pra-bedah
- Diberikan dengan dosis total 25-30 Gy, dosis fraksinasi 2,5-3,5 cGy dan diberikan 5 kali dalam 1 minggu dengan arah sinar depan-belakang whole-pelvis atau 3 lapangan (1 lapangan langsung, 2 lapangan oblique menggunakan wedge filter).
- Radioterapi kuratif pasca operasi merupakan lanjutan radioterapi pra-bedah dengan dosis total 40-50 Gy, dan dosis fraksinasi 2-2,5 Gy diberikan 5 kali dalam 1 minggu.
- Radioterapi paliatif diberikan dengan dosis total 50-60 Gy, dosis fraksinasi 2 Gy dilakukan 5 kali dalam 1 minggu dengan arah sinar depan-belakang (DB), whole pelvis.

1.14 Prognosis
Prognosis dari karsinoma kolorektal tergantung dari stadium saat diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan. Berikut merupakan pembagian prognosis dari karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi dari Duke’s :

Klasifikasi DUKE’S Tingkat invasi Keterlibatan limfonodi Prognosis
Duke’s A Terbatas pada mukosa Tidak ada Angka harapan hidup 5 tahun >90%
Duke’s B1 Sampai stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 70-85%
Duke’s B2 Menembus stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 55-65%
Duke’s C1 Sampai stratum muscularis propia Terdapat invasi pada limfonodi terdekat Angka harapan hidup 5 tahun 45-55%
Duke’s C2 Menembus stratum muscularis propia Terdapat invasi pada limfonodi jauh Angka harapan hidup 5 tahun 20-30%
Duke’s D Metastase jauh Tidak dapat dipakai Angka harapan hidup 5 tahun <1%>