A to Z about Osteomielitis



TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Osteomeylitis adalah suatu proses peradangan akut atau kronik dari tulang dan struktur-strukturnya, sekunder terhadap infeksi dari organisme pyogenik.1 Osteomyelitis merupakan infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus atau proses spesifik ( m. tuberkulosa, jamur).5


2.2. Klasifikasi
Osteomyelitis dapat diklasifikasikan menurut menurut patogenesisnya direct/ eksogen dan hematogen, dan menurut perjalanan penyakitnya sebagai akut, subakut, dan kronis; tiap tipe didasarkan pada lamanya waktu dari onset timbulnya penyakit (terjadinya infeksi atau luka). Osteomyelitis akut berkembang antara dua minggu setelah onset penyakit, osteomyelitis subakut antara satu sampai beberapa bulan dan osteomyelitis kronik setelah beberapa bulan. 1 Osteomyelitis hematogen merupakan infeksi yang disebabkan oleh penyebaran bakteri melalui darah. Osteomyelitis direct/ eksogen disebabkan oleh kontak langsung jaringan dan bakteri selama trauma atau pembedahan.4

2.3. Etiologi
Agen penginfeksi osteomyelitis hematogen meliputi S aureus, organisme Enterobacteriaceae, group A dan B Streptococcus, dan H influenzae. Agen penginfeksi osteomyelitis direct/eksogen; meliputi S aureus, coliform bacilli, dan Pseudomonas aeruginosa.4

2.4. Faktor predisposisi
Status penyakit diketahui sebagai faktor predisposisi pasien terhadap osteomyelitis meliputi diabetes mellitus, penyakit sickle cell, AIDS, penyalahgunaan obat-obatan secara i.v., alkoholik, penggunaan steroid jangka panjang, penurunan kekebalan tubuh, dan penyakit sendi kronik. Sebagai tambahan, implant prosthetik dalam ortopedik dapat merupakan faktor resiko terjadinya osteomyelitis pada pembedahan ortopedik atau fraktur terbuka.4

2.5. Patogenesis
Infeksi dalam sistem muskuloskletal bisa berkembang dalam satu dari dua cara. Bakteri ditularkan melalui darah dari fokus infeksi yang telah ada sebelumnya (infeksi saluran pernafasan atas, infeksi genitourinarius, furunkel) bisa tersangkut di dalam tulang, sinovium atau jaringan lunak ekstremitas serta membentuk abses. Bakteri bisa juga mencapai sistem muskuloskletal dari lingkungan luar (luka penetrasi, insisi bedah, fraktur terbuka). Infeksi hematogen lebih lazim ditemukan dalam masa kanak-kanak, sedangkan infeksi eksogen lebih sering ditemukan pada dewasa yang terpapar trauma.2 Osteomyelitis akut lebih sering terjadi anak-anak dan sering disebarkan secara hematogen. Pada dewasa, osteomyelitis umumnya berupa infeksi subakut atau kronik yang merupakan infeksi sekunder dari luka terbuka pada tulang dan sekitar jaringan lunak.1

Pada osteomyelitis hematogen akut tulang yang sering terkena adalah tulang panjang dan tersering femur, diikuti oleh tibia, humerus radius, ulna, dan fibula bagian tulang yang terkena adalah bagian metafisis dan penyebab tersering adalah staphylococcus aureus.7 Predisposisi untuk infeksi pada metafisis dianggap berhubungan dengan pola aliran darah setinggi sambungan lempeng fiseal metafisis. Aliran darah yang lamban melalui vena eferen pada tingkat ini memberikan tempat untuk penyebaran bakteri. Epifisis tulang panjang mempunyai suplai aliran darah terpisah dan jarang terlibat osteomyelitis akut. Dengan maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan ciri aliran darah yang lamban dihilangkan. Sehingga osteomyelitis hematogen pada orang dewasa merupakan suatu kejadian yang tak lazim.2

Pada osteomyelitis, bakteri mencapai daerah metafisis tulang melalui darah dan tempat infeksi di bagian tubuh yang lain seperti pioderma atau infeksi saluran nafas atas. Trauma ringan yang menyebabkan terbentuknya hematoma diduga berperan dalam menentukan timbulnya infeksi didaerah metafisis yang kaya akan pembuluh darah. Hematoma tersebut merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang mencapai tulang melalui aliran darah. Di daerah hematoma tersebut terbentuk suatu fokus kecil infeksi bakteri sehingga terjadi hyperemia dan edema. Tulang merupakan jaringan yang kaku dan tertutup sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan pembengkakan yang terjadi akibat edema dan oleh karena itu, edema akibat peradangan tersebut menyebabkan kenaikan tekanan intraseus secara nyata dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan menetap, kemudian terbentuk pus, yang semakin meningkatkan tekanan intraseus didaerah infeksi dengan akibat timbulnya gangguan aliran darah. Gangguan aliran darah ini dapat mengakibatkan terjadinya trombosis vaskuler dan kematian jaringan tulang.3

Mula-mula terdapat fokus infeksi di daerah metafisis, lalu terjadi hiperemia dan udem. Karena tulang bukan jaringan yang bisa berekspansi maka tekanan dalam tulang yang hebat ini menyebabkan nyeri lokal yang hebat. Biasanya osteomyelitis akut disertai dengan gejala septikemia seperti febris, malaise, dan anoreksia. Infeksi dapat pecah ke periost, kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi selulitis, atau menjalar melelui rongga subperiost ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah ke bagian tulang diafisis melalui kanalis medularis. Penjalaran subperiostal ke arah diafisis, sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang disebut sekuester. Periost akan membentuk tulang baru yang menyelubungi tulang mati tersebut. Tulang baru yang menyelubungi tulang mati disebut involukrum.7

Osteomyelitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah tersebut peredaran darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid. Penyebaran osteomyelitis dapat terjadi; (1) penyebaran ke arah kortek, membentuk abses subperiosteal dan sellulitis pada jaringan sekitarnya; (2) penyebaran menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak. Abses dapat menembus kulit melalui suatu sinus dan menimbulkan fistel. Abses dapat menyumbat atau menekan aliran darah ke tulang dan mengakibatkan kematian jaringan tulangg (sekuester); (3) penyebaran ke arah medula; dan (4) penyebaran ke persendian, terutama bila lempeng pertumbuhannya intraartikuler misalnya sendi panggul pada anak-anak. Penetrasi ke epifisis jarang terjadi.5

Tanpa pengobatan, infeksi selanjutnya dapat menyebar ketempat lain. Penyebaran lokal terjadi melalui struktur trabekula yang porus ke kortek metafisis yang tipis, sehingga melalui tulang kompakta. Infeksi meluas melalui periosteum melalui kanal atau saluran haver dan menyebabkan periosteum, yang tidak melekat erat ke tulang pada anak-anak, mudah terangkat sehingga terbentuk abses subperiosteum, terangkatnya periosteum akan menyebabkan terputusnnya aliran darah kekortek dibawah periosteum tersebut dan hal ini semakin memperluas daerah tulang yang mengalami nekrosis. Penyebaran infeksi kearah kavum medular juga akan menggangu aliran darah kebagian dalam kortek tulang. Gangguan aliran darah dari 2 arah ini yaitu dari kavum medulare dan periosteum mengakibatkan bagian kortek tulang menjadi mati serta terpisah dari jaringan tulang yang hidup, dan dikenal sebagai sekuestrum. Sekuestrum adalah awal dari stadium kronik. Infeksi didaerah subperiosteum kemudian dapat menjalar kejaringan lunak menyebabkan sellulitis dan kemudian abses pada jaringan lemak. Pus akhirnya akan keluar menuju ke permukaan kulit melalui suatu fistel.3

Pada tempat-tempat tertentu, infeksi didaerah metafisis juga dapat meluas ke rongga sendi dan mengakibatkan timbulnya arthritis septik, keadaan semacam ini dapat terjadi pada sendi-sendi dengan tempat metafisis tulang yang terdapat di dalam rongga sendi, seperti pada ujung atas femur dan ujung atas radius, sehingga penyebaran melalui periosteum mengakibatkan infeksi tulang kedalam sendi tesebut. Jika bagian metafisis tidak terdapat di dalam sendi, namun sangat dekat dengan sendi maka biasanya tidak terjadi arthritis septic dan lebih sering berupa efusi sendi steril.3
Penyebaran infeksi melalui pembuluh darah yang rusak akan menyebabkan septikemia dengan manifestasi berupa malaise, penurunan nafsu makan dan demam.septicemia merupakan ancaman bagi nyawa penderita dan dimasa lalu merupakan penyebab kematian yang lazim.3

Pada infeksi yang berlangsung kronik terangkatnya periosteum menyebabkan timbulnya reaksi pembentukan tulang baru yang di dalamnya terdapat sekuestrum dan disebut involukrum. Reaksi ini terutama terjadi pada anak-anak, sehingga disepanjang daerah diafisis dapat terbentuk tulang baru dari lapisan terdalam periosteum. Tulang yang baru terbentuk ini dapat menpertahankan kontinuitas tulang, meskipun sebagian besar bagian tulang yang terinfeksi telah mati dan menjadi sekuestrum.3

Pada bayi, dapat mengenai seluruh tulang dan sendi di dekatnya. Karena masih adanya hubungan aliran darah antara metefisis dan epifisis melintasi gwoth plate, sehingga infeksi dapat meluas dari metafisis ke epifisis serta kemudian kedalam sendi. Pada anak-anak biasanya infeksi tidak meluas ke daerah epifisis karena growth plate dapat bertindak sebagai barier yang elektif, disamping sudah tidak terdapat hubungan aliran darah langsung antara metafisis dan epifisis. Sementara pada orang dewasa growth plate yang menjadi penghalang perluasan infeksi telah menghilang sehingga epifisis dapat terserang, namun jarang terjadi abses subperiosteum, karena periosteum pada orang dewasa telah merekat erat dengan kortek tulang. Infeksi yang luas menyebabkan kerusakan growth plate akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang serius di kemudian hari.3

2.5. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis osteomielitis biasanya dimulai dengan nyeri lokal serta timbul dengan cepat, malaese generalisata, demam dan kedinginan. Riwayat infeksi sebelumnya di dapat dalam sekitar 50% pasien. Pembengkakan generalisata dal;am daerah infeksi biasanya disertai dengan eritema. Pembesaran kelenjar limfe proksimal bisa ada. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan lekositosis, anemia ringan sampai sedang dan peningkatan laju endap darah. Karena tanda-tanda radiografi osteomielitis tidak terbukti sekitar 10 hari, maka diagnosis dibuat atas dasar klinis saja dalam kasus akut.2

Pada awal penyakit, gejala sistemik seperti febris, anoreksia, dan malaise menonjol, sedangkan gejala lokal seperti pembengkakan atau selulitis belum tampak. Pada masa ini dapat terjadi salah diagnosis sebagai demam tifoid. Nyeri spontan lokal yang mungkin disertai nyeri tekan dan sedikit pembengkakan serta kesukaran gerak dari ektremitas yang terkena, merupakan gejala osteomyelitis hematogen akut. Pada saat ini diagnosis harus ditentukan berdasarkan gejala klinis, untuk memberikan pengobatan yang adekuat. Diagnosis menjadi lebih jelas bila didapatkan sellulitis subkutis.7
Biakan darah harus didapatkan dan akan positif dalam sekitar 50% pasien. Staphylococcus aureus merupakan organisme penyerang paling sering. Dalam bayi dan neonatus, streptococcus bisa menghasilkan gambaran klinis yang sama. Organisme gram negatif juga bisa bersifat etiologi, walaupun umumnya menimbulkan perjalanan yang kurang fulminan dibandingkan yang diuraikan. Secara khusus, osteomielitis salmonella yang melibatkan diafisis tulang panjang, bisa merupakan komplikasi anemia sel sabit.2
Osteomyelitis eksogen sering mengikuti fraktur terbuka terkontaminasi. Organisme manapun bisa terlibat.Biasanya infeksi terbatas pada tempat cidera dan biasanya karena periosteum telah putus, Maka elevasi periosteum dan perluasan infeksi tidak terlihat. Jika lika telah tertutup, maka multiplikasi bakteri tetap bisa menyebabkan dehisasi spontan dengan drainase purulenta.2

2.7. Osteomyelitis akut
Dua kategori primer dari osteomyelitis akut yaitu osteomyelitis hematogen dan osteomyelitis direct/ eksogen.4 Osteomyelitis hematogen merupakan infeksi yang disebabkan oleh penyebaran bakteri melalui darah. Osteomyelitis direct disebabkan oleh kontak langsung jaringan dan bakteri selama trauma atau pembedahan. Manifestasi klinis osteomyelitis direct lebih terlokalisasi daripada osteomyelitis hematogen dan terdiri dari berbagai macam organisme.4

2.7.1. Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis akut dapat di tegakkan berdasarkan beberapa penemuan klinik yang spesifik. 2 dari 4 tanda dibawah ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis akut; (1) adanya materi purulen/ pus pada aspirasi tulang yang teinfeksi; (2) kultur bakteri dari tulang atau darah menunjukkan hasil positif; (3) ditemukannya tanda-tanda klasik lokal berupa nyeri tekan pada tulang , dengan jaringan lunak yang eritem atau udem; (4) pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil yang positif, berupa gambaran udem pada jaringan lunak diatas tulang setelah 3-5 hari terinfeksi.1,4 Pada minggu kedua gambaran radiologi mulai menunjukkan destruksi tulang dan reaksi periosteal pembentukan tulang baru.7

2.7.2. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada masa akut adalah demam reumatik dan sellulitis. Setelah minggu pertama terutama bila manifestasi sistemik tertutup oleh antibiotik dan pada foto roentgen didapati gambaran rarefaksi di daerah metafisis dan reaksi pembentukan tulang subperiosteal, maka granuloma eosinofilik, tumor Ewing, dan osteosarkoma merupakan diagnosis banding.7

Penyakit lain bisa menyerupai osteomyelitis akut. Artritis reumatoid juvenilis akut, demam reumatik akut, lekemia, artritis septik akut, scurvy dan sarkoma Ewing, semuanya bisa menampilkan gambaran klinis serupa. Pemeriksaan cermat pada ekstremitas diperlukan untuk melokalisasi nyeri pada tingkat metafisis dibandingkan sendi dalam membedakan osteomyelitis metafisis dengan artritis piogenik akut. Demam reumatik akut dan artritis reumatoid juvenilis bisa melibatkan beberapa sendi. Osteomyelitis hematogen dalam dewasa tak lazim terjadi dan menimbulkan gambaran klinis osteomyelitis yang kurang dramatik.2

2.7.3. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa destruksi sendi, fraktur, abses tulang, sellulitis, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, pelepasan implant buatan, timbulnya saluran sinus pada jaringan lunak dan osteomyelitis kronik.4,7

2.7.4. Penatalaksanaan
Setelah penilaian awal, riwayat yang mendasari penyakit dan penentuan etiologi mikrobiologi dan kepekaannya, penatalaksanaan meliputi terapi antimikroba, debridemen, dan jika perlu stabilisasi tulang. Pada kebanyakan pasien dengan osteomyelitis, terapi antibiotik menunjukkan hasil yang maksimal. Antimikroba harus diberikan minimal 4 minggu (idealnya 6 minggu) untuk mencapai tingkat kesembuhan yang memadai. Untuk megurangi biaya pemberian antibiotik secara oral dapat dipertimbangkan. Pada Anak-anak dengan osteomyelitis akut harus diberi terapi antibiotik secara parenteral selama 2 minggu sebelum diberikan per oral.1

Osteomyelitis hematogen akut harus diterapi segera. Biakan darah didapatkan dan antibiotik intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena staphylococcus merupakan organisme penyerang tersering, maka antibiotik yang dipilih harus mempunyai spektrum antistafilokokus. Jika biakan darah kemudian negatif, maka aspirasi subperiosteaum atau aspirasi intramedula pada tulang yang terlibat bisa diperlukan. Pasien diberikan istirahat baring, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, antipiretik diberikan untuk demam dan ektremitas dimobilisasi dalam gips dua katup, yang memungkinkan inspeksi harian. Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian terapi antibiotik. Jika timbul kemunduran, maka diperlukan intervensi bedah.2 Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan meliputi; (a) adanya abses; (b) rasa sakit yang hebat; (c) adanya sekuester, dan ; (d) bila mencurigakan adanya perubahan ke arah keganasan (karsinoma epidermoid). Saat yang terbaik untuk melakukan pembedahan adalah bila involukrum telah cukup kuat untuk mencegah terjadinya fraktur pascabedah.5

Setelah kultur dilakukan, terapi empiris parenteral antibiotik regimen nafcillin dengan cefotaxime atau cefriaxone merupakan terapi awal klinik dari bakteri yang dicurigai. Setelah diketahui hasil kultur regimen antibiotik disesuaikan.1 Pada Osteomyelitis hematogen, agen penginfeksi meliputi S aureus, organisme Enterobacteriaceae, group A dan B Streptococcus, dan H influenzae. Terapi primer adalah kombinasi penicillin sintetik yang resisten terhadap penicillinase dan generasi ke-tiga cephalosporin. Terapi alternatif yaitu vancomycin atau clindamycin dan generasi ke-tiga cephalosporin.4

Terapi bedah osteomyelitis adalah insisi dan drainase. Pendekatan bedah tergantung pada lokasi dan luas infeksi serta harus memungkinkan untuk drainase selanjutnya bagi luka. Korteks di atas abses intramedula dilubangi serta debris nekrotik disingkirkan dengan kuretase manual dan irigasi bilas pulsasi. Harus hati-hati untuk menghindari lempeng fiseal berdekatan. Luka dibalut terbuka untuk memungkinkaaan drainase dan ekstremitas dimobilisasi dalam gips. Antibiotik intravena diteruskan selama minimum 2 minggu dan bisa diperlukan selama 6 minggu, tergantung pada organisme dan kerentanannya terhadap antibiotik.2 Antimikroba harus diberikan minimal 4 minggu (idealnya 6 minggu) untuk mencapai tingkat kesembuhan yang memadai.1

Luka dibalut pada interval teratur dan dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder atau ditutup dengan cangkok sebagian ketebalan kulit, bila jaringan granulasi adekuat telah berkembang. Bila proses akut telah dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan. Pemulaian aktivitas penuh tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Dalam infeksi luas, kelemahan nantinya akibat hilangnya tulang bisa menyebabkan fraktur patologi.2

Osteomyelitis direct/ eksogen akut diterapi sama seperti osteomyelitis hematogen akut. Organisme penyebab biasanya lebih dikenali dengan biakan luka daripada biakan darah. Debridemen luka yang adekuat diperlukan, seperti juga terapi antibiotik yang dipilih atas dasar sensitivitas bakteri. Dalam beberapa kasus, luas penyakit dan virulensi organisme yang terlibat menghalangi pembasmian akhir infeksi ini. Bisa timbul saluran sinus kronis, dan osteomyelitis kronis bisa menetap selama beberapa tahun.2

Pada pasien dengan osteomyelitis yang berhubungan dengan trauma, agen penginfeksi meliputi S aureus, coliform bacilli, dan Pseudomonas aeruginosa. Antibiotik yang utama adalah nafcillin and ciprofloxacin. Obat alternatif meliputi vancomycin dan generasi ke-tiga cephalosporin dengan aktivitas antipseudomonal.4

2.8. Osteomyelitis kronik
Osteomyelitis akut yang tidak diterapi secara adekuat, akan berkembang menjadi osteomyelitis kronik.7 Osteomyelitis subakut dan kronik biasanya terjadi pada dewasa. Umumnya, infeksi tulang ini merupakan sekunder dari luka terbuka, sangat sering berupa luka terbuka pada tulang dan sekitar jaringan lunak.1

2.8.1. Diagnosa
Nyeri tulang yang terlokalisir, eritem dan drainase sekitar daerah luka sering tampak. Tanda-tanda utama (kardinal) dari osteomyelitis subakut dan kronik meliputi timbulnya saluran sinus, deformitas, instabilitas dan tanda lokal dari vaskularisasi yang rusak, keterbatasan gerak dan gangguan neurologis. Insidensi infeksi dalam muskuloskletal dari fraktur terbuka dilaporkan lebih dari 23 persen. Faktor pasien, seperti altered neutrophil defense, imunitas humoral dan sel penyedia imunitas, dapat meningkatkan resiko osteomyelitis.1

Pada foto didapat gambaran sekuester dan pembentukan tulang baru.7 Foto radiologi memperlihatkan gambaran osteolisis, reaksi periosteum dan sekuester (bagian tulang yang nekrosis yang terpisah dari tulang yang masih hidup oleh jaringan granulasi).1
Perubahan arsitektur tulang tergantung pada stadium, luasnya dan kecepatan kemajuan penyakit. Kerusakan tulang dapat menciptakan daerah radiolusen yang difus. Nekrosis tulang yang terlihat sebagai daerah dengan peningkatan densitas, sebagian disebabkan oleh meningkatnya absorbsi kalsium dari tulang yang mempunyai vaskularisasi didekatnya. Involukrum dan pembentukan tulang yang mempunyai respon penyembuhan dapat dikenali dibawah periosteum atau di dalam tulang tersebut. Tulang baru subperiosteal dapat terlihat sebagai suatu pola lamellar. Resobsi progresif dari tulang sklerotik dan penyembuhan kembali pola trabekular yang normal juga memberikan kesan adanya penyembuhan.3

2.8.2. Diagnosis Banding
Osteomyelitis kronik harus dibedakan dari tumor benigna dan maligna, dari displasia bentuk-bentuk tulang, dari fatigue fraktur dan dari infeksi spesifik.3


2.8.3. Komplikasi
Komplikasi tersering adalah terus berlangsungnya infeksi dengan eksaserbasi akut. Infeksi yang terus-menerus akan menyebabkan anemia, penurunan berat badan, kelemahan dan amiloidosis. Osteomyelitis kronik dapat menyebar ke organ-organ lain. Eksaserbasi akut dapat dipersulit oleh efusi hebat ke dalam sendi di dekatnya atau oleh arhtritis purulenta. Erosi terus-menerus dan kerusakan tulang yang progresif menyebabkan struktur tulang yang kadang-kadang menyebabkan fraktur patologis. Sebelum penutupan epifiseal, osteomyelitis dapat menimbulkan pertumbuhan berlebihan dari tulang panjang akibat hiperemia kronis pada lempeng pertumbuhan. Destruksi fokal dari suatu lempeng epifiseal dapat menimbulkan pertumbuhan yang asimetrik. Jarang-jarang setelah terjadi drainase selama bertahun-tahun pada jaringan yang terus-menerus terinfeksi timbul karsinoma sel skuamosa atau fibrosarkoma.3

2.8.4. Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik lebih sukar diterapi, terapi umum meliputi pemberian antibiotik dan debridemen. Tergantung tipe osteomyelitis kronik, pasien mungkin diterapi dengan antibiotik parenteral selama 2 sampai 6 minggu. Meskipun, tanpa debridemen yang adekuat, osteomyelitis kronik tidak berespon terhadap kebanyakan regimen antibiotik, berapa lama pun terapi dilakukan.1

Pada osteomyelitis kronik dilakukan sekuestrasi dan debridemen serta pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur dan tes resistensi. Debridemen berupa pengeluaran jaringan nekrotik di dinding ruang sekuester dan penyaliran.7 Debridemen pada pasien dengan osteomyelitis kronik membutuhkan teknik. Kualitas debridemen merupakan faktor penting dalam kesuksesan penanganan. Sesudah debridemen dengan eksisi tulang, perlu menutup dead-space yang dibentuk oleh jaringan yang diangkat. Managemen dead-space meliputi mioplasti lokal, transfer jaringan bebas dan penggunaan antibiotik yang dapat meresap.1

Pada fase pascaakut, subakut, atau kronik dini biasanya involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang menjadi sekuester. Karena itu ekstremitas yang terkena harus dilindungi dengan gips untuk mencegah patah tulang patologik, dan debridemen serta sekuestrektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat. Selama menunggu pembedahan dilakukan penyaliran nanah dan pembilasan.7

2.9. Pencegahan
Osteomyelitis hematogen akut dapat dihindari dengan pencegahan dari kontaminasi bakteri pada tulang dari tempat yang jauh. Ini meliputi diagnosis yang sesuai dan terapi primer infeksi bakteri.
Osteomyelitis direct/ eksogen dapat dicegah dengan manajemen luka yang baik dan pemberian antibiotik profilaksi pada saat terjadinya luka.4

2.10. Prognosis
Prognosisnya bermacam-macam tetapi secara nyata diperbaiki dengan diagnosis dini dan terapi yang agresif.4
Pada osteomyelitis kronis kemungkinan kekambuhan infeksi masih besar. Ini biasanya disebabkan oleh tidak komplitnya pengeluaran semua daerah parut jaringan lunak yang terinfeksi atau tulang nekrotik yang tidak terpisah.3

DAFTAR PUSTAKA

1.Carek P.J., Dickerson L.M., dan Sack J.L., 2001, Diagnosis and Management of Osteomyelitis, American Academy of Family Physicians.
2.Sabiston D.C., 1994, Buku Ajar Bedah ,Bagian 2, Penerbit EGC, Jakarta.
3.Samiaji E., 2003, Osteomyelitis, Bagian Ilmu Bedah BRSD Wonosobo, Fakultas Kedokteran UMY.
4.King R., 2004, Osteomyelitis, eMedicine.com, Inc.
5.Mansjoer S., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aesculapius, Jakarta.
6.Sjamsuhidajat R., Jong W.D., 1998, Buku-Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi, EGC, Jakarta.
7.Kisworo B., 1995, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 45, No. 5.

Kanker Ganas Payudara



TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Payudara
Payudara terletak pada hemitoraks kanan dan kiri dengan batas-batas sebagai berikut:
1.Batas-batas payudara yang tampak dari luar:
Superior : Costa II atau III
Inferior : Costa VI atau VII
Medial : Pinggir sternum
Lateral : Garis aksilaris anterior
2.Batas-batas payudara yang sesungguhnya:
Superor : Hampir sampai klavikula
Medial : Garis tengah
Lateral : M. Latissimus dorsi
Payudara terdiri dari parenkhim epithelial, lemak, pembuluh darah, syaraf, saluran getah bening, otot dan fascia. Parenkhim epithelial di bentuk oleh kurang lebih 15-20 lobus. Jumlah lobus tidak berhubungan dengan ukuran payudara. Setiap lobus terbuat dari ribuan kelenjar kecil yang disebut alveoli atau acini. Kelenjar ini bersama-sama membentuk sejumlah gumpalan, mirip buah anggur yang merambat.
Alveoli menghasilkan susu dan substansi lainnya selama masa menyusui. Setiap acini lobulus memberikan makanan kedalam pembuluh darah tunggal lactiferous yang mengalirkannya ke puting susu. Sebagai hasilnya, terdapat 15-20 saluran puting susu yang mengakibatkan banyak lubang pada puting susu. Dibelakang puting susu pembuluh lactiferous agak membesar sampai membentuk penyimpanan kecil yang disebut lactiferous sinuses. Lemak dan jaringan penghubung mengelilingi acini-acini jaringan kelenjar. Payudara dibungkus oleh fascia pektoralis superficialis dimana permukaan anterior dan posterior di hubungkan oleh ligamentum Cooper yang berfungsi sebagai penyangga, pemberi bentuk pada payudara dan keelastisannya.

Vaskularisasi payudara berasal dari cabang-cabang perforantes A. mamaria interna, rami pektoralis mayor, A. thorako-akrimialis, A. thorakalis lateralis, A. thorakodorsalis. Selain itu vena pada payudara berasal dari cabang-cabang perforantes v. mammaria interna, cabang-cabang v. aksilaris dan vena-vena kecil yang bermuara pada v.interkostalis.. Sistem limfatik payudara terdiri dari pembuluh getah bening aksila, mamaria interna, dan didaerah tepi medial kwadran medial bawah payudara.
Gambar 1: kelenjar limfonodi pada mammae

Fisiologi payudara
Saat kehamilan mempersiapkan payudara untuk menyusui, hal tersebut tidak memicu produksi susu. Selama masa kehamilan, payudara biasanya menjadi lebih besar seiring dengan meningkatnya jumlah dan ukuran kelenjar alveoli sebagai hasil dari peningkatan kadar estrogen. Hal ini terjadi sampai seorang bayi telah disusui untuk beberapa hari di mana produksi susu yang sebenarnya dimulai.

Untuk beberapa hari pertama payudara mengeluarkan kolostrum yang sangat penting bagi kesehatan seorang bayi. Ketika seorang bayi mulai menyusui pada puting seorang wanita, hasil perangsangan fisik menyebabkan impuls. Impuls pada ujung saraf dikirim ke kelenjar Hypothalamus di otak di mana secara bergantian memberitahu kelenjar Pituitary yang juga berada di otak untuk menghasilkan dua hormon yang disebut Oxytocin dan Prolactin. Prolactin menyebabkan susu diproduksi dan Oxytocin menyebabkan serat otot yang mengelilingi kelenjar Alveoli mengerut seperti pada otot rahim. Saat serat otot di sekeliling kelenjar alveoli berkerut menyebabkan susu menjadi keluar yang disebut sebagai "aliran" dan dapat menimbulkan sensasi dalam payudara dan menyemprotkan susu dari putingnya.

Suara tangisan bayi juga dpat memicu aliran, yang memperlihatkan bagaimana produksi susu dapat dipengaruhi secara psikologi dan kondisi lingkungan sama seperti saat menyusui. Saat menyusui, foremilk, disimpan dalam alveoli dan lactiferous sinuses akan tetapi kebanyakan dari susu, hindmilk, diproduksi berdasarkan permintaan. Payudara tidak menyimpan susu, tetapi memproduksinya berdasarkan permintaan. Semakin besar permintaan, semakin banyak susu yang diproduksi.

2.2. Definisi
Karsinoma payudara adalah karsinoma yang berasal dari kelenjar, jaringan areola dan puting payudara. Ini adalah neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan payudara abnormal yang tidak memandang jaringan sekitarnya dan tumbuh infiltratif, destruktif dan dapat bermetastase. Tumor ini tumbuh progresif dan relative cepat membesar.
2.3. Etiologi
Etiologi kanker payudara tidak diketahui secara pasti. Namun beberapa faktor risiko pada pasien di duga berhubungan dengan kejadian kanker payudara:
a. Keluarga
Dari epidemiologi tampak bahwa kemungkinan untuk menderita kanker payudara dua kali sampai tiga kali lebih besar pada wanita yang ibunya atau saudara kandunganya menderita kanker payudara. Kemungkinan ini lebih besar pada wanita yang ibunya atau saudara kandung itu menderita kanker bilateral atau pramenopause.
b. Usia
Seperti pada banyak jenis kanker , insidens menurut usia naik sejalan dengan bertambahnya usia. Biasanya kanker ini ditemukan pada umur 40-49 tahun.
c. Hormon
Pertumbuhan kanker payudara sering di pengaruhi oleh perubahan keseimbangan hormon. Hal ini terbukti pada hewan coba dan pada penderita karsinoma mamma. Perubahan pertumbuhan tampak setelah penambahan atau pengurangan hormone yang merangsang atau menghambat pertumbuhan karsinoma mamma. Menarke yang cepat dan menopause yang lambat ternyata di sertai peninggian resiko. Risiko terhadap karsinoma mamma lebih rendah pada wanita yang mekahirkan anak pertama pada usia lebih muda. Laktasi tidak mempengaruhi risiko.

d. Diit
Terutama diit yang banyak mengandung lemak. Karsinogen : terdapat lebih dari 2000 karsinogen dalam lingkungan hidup kita. Konsumsi alkohol tampaknya juga ada hubungannya dengan kenaikan resiko kanker payudara (1,5 sampai 2 kali).
e. Berat badan-Obesitas.
Menunjukkan hubungan khusus dengan kanker payudara, pada penelitian obesitas mempunyai resiko yang cukup signifikan untuk mendapatkan kanker payudara.
f. Virus
Ini terbukti pada kera, tapi perannya sebagai faktor penyebab pada manusia belum dapat di pastikan
g. Radiasi daerah dada
Ini sudah lama di ketahui karena radiasi dapat menyebabkan mutagen.
h. Wanita yang pernah menjalani operasi tumor payudara jinak.
Wanita yang pernah menjalani operasi tumor atypical epithelial hyperplasia mempunyai resiko 4-5 kali lebih tinggi mendapatkan kanker payudara di bandingkan dengan wanita yang tidak mengalami proliferatife change. Wanita yang pernah di operasi dengan suatu kista, fibroadenoma, duktal papiloma, sclerosis adenosis dan moderate epithelial hyperplasia mempunyai resiko 11/2-3 kali untuk mendapatkan kanker payudara.
i. Kontrasepsi oral
Pada penelitian pada kelompok kontrol yang mengikuti program kontrasepsi oral tidak menunjukkan resiko kanker payudara yang signifikan, walaupun begitu penggunaan kontrasepsi oral pada usia 15-25 tahun tidak di anjurkan karena menurut kepustakaan resiko relatif untuk mendapatkan kanker payudara lebih tinggi daripada bila kontrasepsi ini digunakan wanita diatas 35 tahun.
j. Hormon Replacement Therapy (HRT).
Pemberian HRT cenderung meningkatkan resiko kanker payudara bla tidak dilakukan pengawasan ketat terhadap kadar hormon estrogen dan progesterone.

2.4. Patofisiologi Karsinoma mamma
Kanker payudara muncul sebagai akibat sel-sel abnormal yang terbentuk pada payudara dengan kecepatan tidak terkontrol dan tidak beraturan. Payudara adalah suatu kelenjar khusus yang terbentuk pada pasca pubertas di luar dari duktus rudimentary yang bersumber dari putting susu. Jaringan payudara merespon terhadap hormone estrogen dan progesterone pada siklus menstruasi. Epitel payudara normal memiliki reseptor estrogen dan progesterone. Komplek hormone estrogen dan progesteron reseptor di teruskan beritanya kedalam inti sel dan hormone akan memerintahkan gen yang berakibat pada pembelahan sel dan sintesis reseptor progesterone.
Letak kesalahan yang menyebabkan terjadinya kanker payudara terjadi pada gen BRCA1 pada kromosom 17q dan BRCA 2 pada kromosom 13q. Kedua gen tersebut berfungsi menekan abnormalitas dan pertumbuhan sel . Jika kedua gen itu mengalami mutasi , maka akan terjadi perubahan –perubahan bentuk, ukuran maupun fungsinya, sebagaimana sel tubuh yang asli. Akibatnya sel tubuh akan berproliferasi secara berlebihan dan tidak mengikti aturan normal.
Mutasi gen ini di picu oleh keberadaan suatu bahan asing yang masuk kedalam tubuh kita, diantaranya pengawet makanan, vetsin, radioaktif, oksidan, atau karsinogenik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri secara alamiah. Tetapi yang terakhir ini sangat jarang terjadi karena secara alamiah tubuh kita mampu menetralkan zat karsinogenik yang dihasilkan oleh tubuh.
Bersama aliran darah dan limfe, sel-sel kanker dan racun–racun yang dihasilkannya dapat menyebar keseluruh tubuh seperti di tulang, paru-paru dan hepar tanpa di sadari oleh penderita.

Metastasis tumor ganas payudara
Metastasis tumor ganas payudara dapat terjadi melalui dua jalan
1.metastasis melalui sistem vena:
Metastasis melalui sistem vena akan menyebabkan terjadinya metastase ke paru-paru dan organ lain. Akan tetapi dapat pula terjadi metastasis ke vertebrata secara langsung, melalui vena-vena kecil yang bermuara ke v. Interkostalis yang kemudian akan bermuara ke dalam v. Vertebralis . V. Mamaria interna merupakan jalan utama metastasis tumor ganas payudara ke paru-paru melalui sistem vena.
2. metastasis melalui sistem limfe:
a. Metastasis ke kelenjar getah bening aksila
Metastasis ke kelenjar getah bening sentral ( central nodes)
Metastasis ke kelenjar getah bening interpektoral (Rotter’s nodes)
Metastasis ke kelenjar getah bening subklavikula
Metastasis ke kelenjar getah bening mammaria eksterna

b. Metastasis ke kelenjar getah bening supraklavikula
c. Metastasis ke kelenjar getah bening mammaria interna
d. Metastasis ke hepar
2.5. Jenis karsinoma mammae
Klasifikasi histopatologis menurut WHO (1990)
-Karsinoma non invasif: karsinoma intraduktus, karsinoma intralobuler.
-Karsinoma invasif : karsinoma duktus invasif, karsinoma duktus invasif dengan predominan komponen intraduktus.
-Karsinoma lobuler invasif : karsinoma tubuler, meduler, papiler, mukoid, adenoid kistik, apokrin, sel skuamosa.
-Karsinoma paget


2.6. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal tidak ada keluhan sama sekali hanya seperti fibroadenoma atau fibrokistik disease yang kecil saja. Bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, permukaan tidak rata, konsistensi padat keras.
Pada stadium yang lebih lanjut dapat menimbulkan kelainan pada kulit berupa infiltrasi, retraksi puting susu melekat pada kulit, seperti kulit jeruk ( peaue de’orange), benjolan kecil di kulit ( satelit nodul) sampai dapat di jumpai ulserasi atau basah di atas tumor , discharge dan lain sebagainya. Dapat bermetastasis jauh ke paru-paru, hepar, tulang dan lain-lain dengan segala macam akibatnya sampai pada yang fatal.

2.7. Stadium Klinis
Stadium karsinoma payudara di tentukan berdasarkann klasifikasi internasional yang disusun dalam sistem TNM, yaitu:
T: menunjukkan kondisi tumor primer, antara lain diameter dan kondisi kulit yang menutupi tumor.
N: penilaian terhadap kemugkinan adanya metastasis pada kelenjar getah bening regional.
M: menggambarkan metastasis pada organ lain, antara lain: paru-paru, hati, tulang dan otak

Klasifikasi Penyebaran TNM:
T
TX : tumor primer tidak dapat ditentukan
TIS : karsinoma in situ dan penyakit paget pada papila tanpa teraba tumor
TO : tidak ada bukti adanya tumor primer
TI : tumor <> 5 cm
T4 : tumor dengan penyebaran langsung ke dinding toraks atau ke kulit dengan tanda udem, tukak, peau atau de’ orange.
N
NX :kelenjar regional tidak dapat di tentukan
NO : tidak teraba kelenjar aksiler
N1 : teraba kelenjar aksila homolateral yang tidak melekat
N2 : teraba kelenjar aksila yang homolateral yang melekat satu sama lain atau melekat pada jaringan sekitarnya
N3 : terdapat kelenjar mamaria interna homolateral
M
MX : tidak dapat di tentukan metastasis jauh
MO : tidak ada metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh termasuk kelenjar supraklavikuler


Stadium TNM Karsinoma Payudara, UICC 2003

Stadium I Tia NoN1a Mo :Tumor dengan diameter 2 cm atau kurang, tak terfiksir pada kulit atau pektoral tanpa di duga ada metastasis aksila.
Stadium II ToT1aT1b N1b Mo :Tumor dengan diamter 2 cm atau kurang dengan metastasis aksila.
T2aT2b No,N1a Mo :Tumor dengan diameter 2 cm atau kurang dengan metastasis aksila.
T2aT2b N1b Mo :Tumor dengan diameter 2-5 cm dengan atau tanpa metastasis aksila.
Stadium IIIa T3aT3b NO,N1 Mo :Tumor dengan diameter 5 cm dengan atau tanpa metastasis aksila.
T1a,bT2a,b N2 Mo :Tumor dengan diameter cm dengan atau tanpa metastasis aksila
T3a,b :Tumor dengan metastasis aksila yang melekat.
Stadium IIIb T1a,bT2a,b N3 Mo :Tumor dengan metastasis infra atau supraklavikula.
T3a,b :Tumor yang telah menginfiltrasi kulit atau dinding thoraks.
T4a,b N apa saja Mo:Tumor yang telah menginfiltrasi kulit atau dinding thoraks.
Stadium IV Tapapun N apapun Mo:Tumor metastasis jauh

2.8. Penegakan Diagnosis
Untuk sampai pada diagnosis payudara di perlukan:
a. Pemeriksaan yang baik, meliputi:
1. Anamnesis yang lengkap:
Mengenai keluhan-keluhan
Perjalanan penyakit
Keluhan tambahan
Faktor-faktor resiko tinggi
Tanda umum keganasan yang berhubungan berat badan dan nafsu makan
2. Pemeriksaan fisik yang sistematis dan legeartis
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Pemeriksaan Histopatologi
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita dapat berupa massa tumor di payudara, terasa sakit, cairan dari puting susu, retraksi puting susu, adanya ekzema di sekitar areola, keluhan kulit berupa dimpling, kemerahan, ulserasi, atau adanya peaue de’orange, atau keluhan pembesaran kelenjar getah bening aksila atau tanda metastasis jauh.
Adanya tumor di tentukan sejak beberapa lama, cepat atau tidak membesar, disertai sakit atau tidak. Biasanya tumor pada proses keganasan atau kanker payudara mempunyai ciri dengan batas yang irregular, umumnya tanpa ada rasa nyeri, tumbuh progresif cepat membesar.

2. Pemeriksaan fisik
Karena organ payudara di pengaruhi oleh faktor hormonal antara lain estrogen dan progesteron maka sebaiknya pemeriksaan payudara dilakukan saat pengaruh hormonal ini seminimal mungkin, yaitu setelah menstruasi lebih kurang satu minggu dari hari pertama menstruasi. Dengan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti, ketepatan pemeriksaan untuk kanker payudara secara klinis cukup tinggi.
Teknik pemeriksaan
Penderita diperiksa dengan badan bagian atas terbuka:
1. posisi tegak (duduk)
Penderita duduk dengan tangan bebas ke samping , pemeriksa berdiri di depan dalam posisi yang kurang lebih sama tinggi. Pada inspeksi dilihat: simetri payudara kanan-kiri, kelainan papila, letak dan bentuknya, adakah retraksi puting susu, kelainan kulit, tanda-tanda radang, peaue de’orange, dimpling, ulserasi dan lain-lain.
2. Posisi berbaring
penderita posisi berbaring dan di usahakan agar payudara jatuh tersebar rata di atas lapangan dada. Palpasi ini dilakukan dengan menggunakan falang distal dan falang medial jari II,III,IV dan dikerjakan secara sistematis mulai dari kranial setinggi iga ke 2 sampai ke distal setinggi iga ke 6 serta pemeriksaan daerah sentral subareolar dan papil.
3. Menetapkan keadaan tumornya
a. lokasi tumor menurut kwadran di payudara atau terletak didaerah sentral (subareola dan dibawah papil).
b. ukuran tumor, konsistensi, batas-batas tumor tegas atau tidak tegas
c. mobilitas tumor terhadap kulit dan m. Pektoralis atau dinding dada.

4. Memeriksa kelenjar getah bening
a. aksila
Sebaiknya dalam posisi duduk. Pemeriksaan aksila kanan, tangan kanan penderita di letakkan atau jatuhkan lemas di tangan kanan atau bahu pemereiksa dan aksila diperiksa dengan tangan kiri pemeriksa.yang diraba kelompok kelenjar getah bening:--mamaria eksterna dibagian anterior dan di bawah tepi m. Pektoralis aksila
-subskapularis di posterior aksila
- sentral di bagian pusat aksila
- apikal diujung atas fossa aksilaris
pada perabaan ditentukan besar, konsistensi, jumlah, apakah berfiksasi satu sama lain atau tidak.
5. organ lain yang ikut diperiksa
Organ lain yang di periksa untuk melihat adanya metastasis adalah hepar, lien, tulang belakang dan paru. Metastasis jauh dapat bergejala sebagai berikut:
-otak: nyeri kepala, mual, muntah.
-paru: efusi, sesak nafas.
-hati: kadang tanpa gejala, massa ikterus obstruksi.
-tulang: nyeri, patah tulang.
3. Pemeriksaan Penunjang
Mammografi
Suatu teknik pemeriksaan soft tissue teknik. Adanya proses keganasan akan memberikan tanda-tanda primer dan skunder. Tanda primer berupa fibrosis reaktif, comet sign, mikrokalsifikasi. Tanda-tanda skunder berupa retraksi, penebalan kulit, bertambahnya vaskularisasi, perubahan posisi papilladan areola dan adanya bridge of tumor, keadaan daerah tumor dan jaringan fibroglanduler tidak teratur, infiltrasi dalam jaringan lunak di belakang mamae dan adanya metastasis ke kelenjar.

Mammografi ini dapat mendeteksi tumor-tumor yang secara palpasi tidak teraba, jadi sangat baik untuk diagnosis dini dan screening.
USG
USG terutama berperan untuk payudara yang padat, yang biasanya ditemukan pada wanita muda. USG juga bermanfaat dalam membedakan jenis tumor solid atau kistik, biasanya di temukan kista sebesar 1-2 cm.
CT Scan
Tidak banyak berperan pada kanker payudara, karena selain radiasi yang besar juga relative biaya mahal. Hanya bermanfaat pada lesi yang dalam atau deep situation menempel pada chest wall dimana pemeriksaan dengan USG maupun mammo agak sulit memperkirakan besarnya.
MRI
Tidak banyak berperan pada kanker payudara, kecuali pada golongan resiko tinggi dengan:1. extremely dense breast
2. mencari kemungkinan occult breast Ca
tetapi sayang sekali dengan MRI ini tidak bisa melihat mikrokalsifikasi yang merupakan stadium paling dini dari breast Ca .

4. Pemeriksaan Histopatologi Kanker Payudara
Bahan pemeriksaan diambil dengan cara:
1)Eksisional biopsi, dengan mengangkat seluruh jaringan tumor beserta sedikit jaringan sehat disekitarnya bila tumor <5cm,kemudian cyclophospamide="100" methotrexate="40" 5fluourasil="600" cyclophospamide="100" adriamycin="50mg/m" 5fluourasil="600"> 20 tahun: melakukan sadari tiap bulan
Wanita 20-40 tahun: tiap 3 tahun memeriksakan diri ke dokter.
Wanita > 40 tahun: tiap 1 tahun
Wanita 35-40 tahun: dilakukan mamografi
Wanita <> 50 tahun: kalau bisa mamografi tiap tahun.
Wanita dengan riwayat keluarga (+) memerlukan pemeriksan fisik oleh dekter lebih sering dan pemeriksaan mamografi rutin atau periodik sebelum usia 50 tahun.

Teknik SADARI
1.Berdiri di depan cermin dengan badan bagian atas terbuka (dada terbuka).
Lengan kebawah: bandingkan payudara kanan dan kiri, besarnya dan simetrinya.
Puting susu: dilihat sama besar atau tinggi atau bentuknya.
Lengan diatas kepala: seperti tangan dibawah. Kadang-kadang dalam gerakan lengan keatas dapat dilihat bayangan tumor dibawah kulit ikut bergerak.

2.Berbaring
Sebaiknya bagian payudara yang diperiksa misalnya, kanan, bahu kanan diganjal sedikit dengan bantal agar semua payudara jatuh rata diatas lapangan dada. Demikian juga untuk yang sebelahnya. Dengan jari-jari II-IV bagian tengan dankaudal dilakukan perabaan seluruh payudara secara sistematis; dari atas kebawah dari pusat(papila) ketepi. Jika meraba adanya tumor atau kelainan secepatnya konsultasi ke dokter. Untuk wanita diatas 40 tahun dianjurkan untuk tidak lupa memeriksakan ini tiap bulan.
Pemeriksaan mamografi dapat dilakukan untuk mengetahui kasus dini dengan melakukan mass screening. Dengan mamografi dapat dideteksi lesi-lesi kecil 2-4 mm yang secara klinis tidak bisa di ketahui. Namun pemeriksaan lesi untuk suatu mass screening memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan hasil yang didapat. Oleh karena itu mamografi dianjurkan pada wanita yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk menemikan lesi-lesi atau tumor kecil.

pencegahan
Ada langkah-langkah tertentu yang setiap wanita dapat lakuka untuk membantu mengurangi kemungkinan berkembangnya kanker payudara. Berikut cara-cara yang dapat membantu pencegahan kanker payudara:
a)Kesadaran akan payudara itu sendiri, lakukan pemeriksaan payudara sendiri tiap bulan.
b)Berikan ASI pada bayi
c)Jika menemukan benjolan, segera ke dokter
d)Cari tahu apakah ada sejarah kanker payudara pada keluarga
e)Hindari konsumsi alkohol dan rokok
f)Perhatikan berat badan
g)Olahraga secara teratur
h)Kurangi makanan berlemak
i)Jika lebih dari 50 tahun lakukan screening payudara secara teratur
j)Hindari terlalu banyak terkena sinar x dan radiasi lainnya
k)Atasi stres dan rileks.

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif M, 2OOO, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, jilid 2, Media Aesculapius, FK UI: Jakarta
Manning, Delp, 1996, Major Diagnosis Fisik, Edisi Revisi, EGC : Jakarta
Schwartz, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi VI, EGC: Jakarta
Schwartz, 2005, Principles of Surgery, The McGraw Hill Company, USA
Sjamsuhidayat R; Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi, EGC: Jakarta
Staf &Karyawan, Bag/SMF Ilmu Bedah, 2004, Indonesian Issues on Breast Cancer I, FK UNAIR: Surabaya
Van de Velde; dkk, 1996, Onkologi, Edisi V, Revisi, Gajah Mada University Press: Yogyakarta
http://www.iptek.net.id/ind/cakrawala/cakrawala_idx.php?id=penyakit11.htm
http://www.vision.net.id/detail.php?id=1921
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/16/kesehatan/2052709.htm

http://www.mer-c.org/mc/ina/ikes/ikes_0304_kankerpayudara.htm

http://bima.ipb.ac.id/~anita/kanker_payudara.htm

Tumor Jinak Payudara



2.1. Anatomi dan Fisiologi Payudara
Payudara sebagai kelenjar subkutis mulai tumbuh sejak minggu ke-enam masa embrio, yaitu berupa penebalan ektodermal sepanjang garis yang disebut garis susu yang terbentang dari aksila sampai ke regio inguinal. Dua pertiga dari garis tersebut segera menghilang dan tinggal bagian dada saja yang berkembang menjadi cikal bakal payudara. Beberapa hari setelah lahir, pada bayi, dapat terjadi pembesaran payudara unilateral atau bilateral diikuti dengan sekresi cairan keruh. Keadaan yang disebut mastitis neonatorum ini disebabkan oleh berkembangnya sistem duktus dan tumbuhnya asinus serta vaskularisasi pada stroma yang dirangsang secara tidak langsung oleh tingginya kadar estrogen ibu di dalam sirkulasi darah bayi. Setelah lahir kadar hormon ini menurun, dan ini merangsang hipofisis untuk memproduksi prolaktin. Prolaktin inilah yang menimbulkan perubahan payudara.
Kelenjar susu yang bentuknya bulat ini merupakan kelenjar kulit atau apendiks kulit yang terletak di fascia pektoralis. Pada bagian lateral atasnya jaringan kelenjar ini keluar dari bulatannya ke arah aksila, disebut penonjolan Spence atau ekor payudara. Setiap payudara terdiri dari 12 sampai 20 lobulus kelenjar yang masing-masing mempunyai saluran ke papilla mamma, yang disebut duktus laktiferus. Diantara kelenjar susu dan fascia pektoralis, juga diantara kulit dan kelenjar tersebut mungkin terdapat jaringan lemak. Diantara lobulus tersebut ada jaringan ikat yang disebut ligamentum Cooper yang memberi rangka untuk payudara.
Pendarahan payudara terutama berasal dari cabang a.perforantes anterior dari a.mammaria interna, a.torakalis yang bercabang dari a.aksilaris, dan beberapa a.interkostalis. Persarafan kulit payudara diurus oleh cabang pleksus servikalis dan n.interkostalis. Jaringan kelenjar payudara sendiri diurus oleh saraf simpatik.
Penyaluran limfe dari payudara kurang lebih 75% ke aksila, sebagian lagi ke kelenjar parasternal, terutama dari bagian yang sentral dan medial dan ada pula penyaluran yang ke kelenjar interpektoralis. Di aksila terdapat rata-rata 50 (berkisar dari 10 sampai 90) buah kelenjar getah bening yang berada di sepanjang arteri dan vena brakialis. Saluran limfe dari seluruh payudara mengalir ke kelompok anterior aksila, kelompok sentral aksila, kelenjar aksila bagian dalam, yang lewat sepanjang v.aksilaris dan yang berlanjut langsung ke kelenjar servikal bagian kaudal dalam di supraklavikuler.
Jalur limfe lainnya berasal dari daerah sentral dan medial yang selain menuju ke kelenjar sepanjang pembuluh mammaria interna, juga menuju ke aksila kontralateral, ke m.rectus abdominis lewat ligamentum falsifarum hepatis ke hati, ke pleura, dan ke payudara kontralateral.

Payudara mengalami tiga macam perubahan yang dipengaruhi hormon. Perubahan pertama ialah mulai dari masa hidup anak melalui masa pubertas, masa fertilitas, sampai ke klimakterium dan menopause. Sejak pubertas pengaruh estrogen dan progesteron yang diproduksi ovarium dan juga hormon hipofise, telah menyebabkan duktus berkembang dan timbulnya asinus.
Perubahan kedua adalah perubahan sesuai dengan daur menstruasi. Sekitar hari kedelapan menstruasi, payudara jadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum menstruasi berikutnya terjadi pembesaran maksimal. Kadang-kadang timmbul benjolan yang tidak nyeri dan tidak rata. Selama beberapa hari menjelang menstruasi, payudara menjadi tegang dan nyeri sehingga pemeriksaan fisik, terutama palpasi, tidak mungkin dilakukan. Pada waktu itu pemeriksaan foto mammogram tidak berguna karena kontras kelenjar terlalu besar. Begitu menstruasi mulai, semuanya berkurang.
Perubahan ketiga terjadi waktu hamil dan menyusui. Pada kehamilan, payudara menjadi besar karena epitel duktus lobularis dan duktus alveolus berproliferasi, dan tumbuh duktus baru.
Sekresi hormon prolaktin dari hipofisis anterior memicu (trigger) laktasi. Air susu diproduksi oleh sel-sel alveolus, mengisi asinus, kemudian dikeluarkan melalui duktus ke puting susu.

2.2. Tumor Payudara Jinak
Kelainan Fibrokistik
Kelainan fibrokistik mencakup perubahan baik pada jaringan glandular maupun stroma. Kelainan fibrokistik pada payudara adalah kondisi yang ditandai penambahan jaringan fibrous dan glandular. Manifestasi dari kelainan ini termasuk adanya kista, fibrosis, benjolan konsistensi lunak, terdapat penebalan, dan rasa nyeri. Kista dapat membesar dan terasa sangat nyeri selama periode menstruasi karena hubungannya dengan perubahan hormonal tiap bulannya. Wanita dengan kelainan fibrokistik mengalami nyeri payudara siklik berkaitan dengan adanya perubahan hormon estrogen dan progesteron. Perubahan fibrokistik adalah penyebab tumor yang terbanyak pada wanita berusia 30 sampai 50 tahun. Pembengkakan payudara biasanya berkurang setelah menstruasi berhenti. Keluhan-keluhan dari perubahan fibrokistik biasanya berhenti setelah menopause namun bisa menjadi lebih lama jika wanita tersebut melakukan terapi sulih hormon.
Kelainan fibrokistik dapat diketahui dari pemeriksaan fisik, mammogram, atau biopsi. Biopsi dilakukan terutama untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis kanker. Perubahan fibrokistik biasanya ditemukan pada kedua payudara baik di kuadran atas maupun bawah.

Fibrosis
Sesuai dengan asal katanya “fibrosis”, yaitu terdiri atas fibrosis dan kista. Fibrosis menunjukkan penambahan jaringan fibrous, bahan yang sama dengan pembentuk ligamen dan jaringan parut. Daerah dengan fibrosis tampak elastis, konsistensi padat dan keras pada perabaan. Fibrosis tidak meningkatkan resiko untuk terjadinya kanker dan tidak memerlukan tindakan yang khusus.

Kista
Kista adalah ruang berisi cairan yang dibatasi sel-sel glandular. Kista terbentuk dari cairan yang berasal dari kelenjar payudara. Mikrokista terlalu kecil untuk dapat diraba, dan ditemukan hanya bila jaringan tersebut dilihat di bawah mikroskop. Jika cairan terus berkembang akan terbentuk makrokista. Makrokista ini dapat dengan mudah diraba dan diameternya dapat mencapai 1 sampai 2 inchi.
Selama perkembangannya, pelebaran yang terjadi pada jaringan payudara menimbulkan rasa nyeri. Benjolan bulat yang dapat digerakkan dan terutama nyeri bila disentuh, mengarah pada kista.
Walaupun penyebab kista masih belum diketahui, namun para ahli mengetahui bahwa terdapat hubungan antara kista dengan kadar hormon. Kista muncul seminggu atau 2 minggu sebelum periode menstruasi mulai dan akan menghilang sesudahnya. Kista banyak terjadi pada wanita saat premenopause, terutama bila wanita tersebut menjalani terapi sulih hormon. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kafein dapat menyebabkan kista payudara walaupun hal ini masih menjadi kontroversial di kalangan medis.
Kebanyakan wanita hanya mengalami kista payudara sebanyak satu atau dua, namun pada beberapa kasus, kista multipel dapat terjadi. Kista biasanya dipastikan dengan mammografi dan ultrasound (sonogram). Ultrasound sangat tepat digunakan untuk mengidentifikasi apakah abnormalitas payudara tersebut merupakan kista ataukah massa padat.
Kebanyakan kista yang simpel dapat digambarkan dengan baik, yaitu memiliki tepi yang khas, dan sinyal ultrasound dapat dengan mudah melewati. Walaupun begitu, beberapa kista didapatkan dengan tingkat ekoik internal yang rendah yang menyulitkan ahli radiologi untuk mendiagnosis sebagai kista tanpa mengeluarkan cairan. Tipe kista yang seperti ini disebut kista kompleks. Walaupun kista kompleks tersebut terlihat sebagai massa yang solid, namun kista tersebut bukanlah kanker.
Dalam keadaan tertentu, kista dapat menimbulkan nyeri yang hebat. Mengeluarkan isi kista dengan aspirasi jarum halus akan mengempiskan kista dan mengurangi ketidaknyamanan. Beberapa ahli radiologis memasukkan udara ke daerah tersebut setelah drainase untuk meminimalkan kemungkinan kista muncul lagi. Apabila cairan dari kista tampak seperti darah atau terlihat mencurigakan, cairan tersebut harus diperiksakan ke laboratorium patologi untuk dilihat di bawah mikroskop. Cairan kista yang normal dapat berwarna kuning, coklat, hijau , hitam, atau berwarna seperti susu.

Galaktokel
Galaktokel adalah kista berisi susu yang terjadi pada wanita yang sedang hamil atau menyusui. Seperti kista lainnya, galaktokel tidak bersifat seperti kanker. Biasanya galaktokel tampak rata, benjolan dapat digerakkan, walaupun dapat juga keras dan susah digerakkan. Penatalaksanaan galaktokel sama seperti kista lainnya, biasanya tanpa melakukan tindakan apapun. Apabila diagnosis masih diragukan atau galaktokel menimbulkan rasa tidak nyaman, maka dapat dilakukan drainase dengan aspirasi jarum halus.

Hiperplasi Epitelial
Hiperplasi epitel ( disebut juga kelainan payudara proliferatif) adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel yang membatasi antar duktus atau lobulus. Apabila hiperplasi melibatkan duktus maka disebut hiperplasia duktus. Sedangkan bila melibatkan lobulus, maka disebut hiperplasia lobular. Berdasarkan pengamatan dibawah mikroskop, hiperplasia dapat dikelompokkan menjadi tipe biasa dan atipikal. Hiperplasia tipe biasa mengindikasikan peningkatan yang tipis dari resiko seorang wanita untuk berkembang menjadi kanker payudara. Resikonya adalah 1,5 sampai 2 kali lipat dibandingkan wanita tanpa abnormalitas payudara. Hiperplasia atipikal mengindikasikan peningkatan yang sedang yaitu 4 sampai 5 kali lipat dibandingkan wanita tanpa abnormalitas payudara.
Hiperplasi epitelial biasanya didiagnosa melalui biopsi jarum atau biopsi melalui pembedahan. Apabila telah didiagnosis menderita hiperplasia terutama hiperplasia atipikal, berarti diperlukan pemantauan yang lebih oleh dokter, misalnya pemeriksaan fisik payudara yang rutin dan mammografi setiap setahun sekali. Hal ini dikarenakan mengalami hiperplasia akan meningkatkan kemungkinan untuk berkembang menjadi kanker payudara di masa yang akan datang.

Adenosis
Adenosis adalah temuan yang sering didapat pada wanita dengan kelainan fibrokistik. Adenosis adalah pembesaran lobulus payudara, yang mencakup kelenjar-kelenjar yang lebih banyak dari biasanya. Apabila pembesaran lobulus saling berdekatan satu sama lain, maka kumpulan lobulus dengan adenosis ini kemungkinan dapat diraba.
Banyak istilah lain yang digunakan untuk kondisi ini, diantaranya adenosis agregasi, atau tumor adenosis. Sangat penting untuk digarisbawahi walaupun merupakan tumor, namun kondisi ini termasuk jinak dan bukanlah kanker. Adenosis sklerotik adalah tipe khusus dari adenosis dimana pembesaran lobulus disertai dengan parut seperti jaringan fibrous. Apabila adenosis dan adenosis sklerotik cukup luas sehingga dapat diraba, dokter akan sulit membedakan tumor ini dengan kanker melalui pemeriksaan fisik payudara. Kalsifikasi dapat terbentuk pada adenosis, adenosis sklerotik, dan kanker, sehingga makin membingungkan diagnosis. Biopsi melalui aspirasi jarum halus biasanya dapat menunjukkan apakah tumor ini jinak atau tidak. Namun dengan biopsi melalui pembedahan sabat dianjurkan untuk memastikan tidak terjadinya kanker.

Fibroadenoma
Fibroadenoma merupakan tumor payudara jinak yang terkadang terlalu kecil untuk dapat teraba oleh tangan, walaupun diameternya bisa saja meluas beberapa inchi. Fibroadenoma dibentuk baik itu oleh jaringan payudara glandular maupun stroma, dan biasanya terjadi pada wanita muda. Setelah menopause, tumor tidak lagi ditemukan.
Fibroadenoma teraba sebagai benjolan bulat atau berbenjol-benjol, dengan simpai licin dan konsistensi kenyal padat. Tumor ini tidak melekat ke jaringan sekitarnya dan amat mudah digerakkan kesana kemari. Biasanya fibroadenoma tidak nyeri bila ditekan. Kadang-kadang fibroadenoma tumbuh multipel. Pada masa adolescen fibroadenoma bisa terdapat dalam ukuran yang besar. Pertumbuhan bisa cepat sekali selama kehamilan dan laktasi atau menjelang menopause, saat rangsangan estrogen meninggi. Fibroadenoma dapat dengan mudah didiagnosa melalui aspirasi jarum halus atau biopsi jarum dengan diameter yang lebih besar (core needle biopsi).
Pada umumnya dokter menyarankan untuk dilakukannya pengangkatan fibroadenoma terutama jika pertumbuhan terus berlangsung atau terjadi perubahan bentuk payudara. Terkadang (terutama pada usia petengahan atau wanita usia dewasa) tumor ini akan berhenti tumbuh atau bahkan mengecil dengan sendirinya tanpa terapi apapun. Dalam hal ini, selama dokter yakin massa tersebut adalah benar-benar fibroadenoma dan bukan kanker payudara, pembedahan untuk mengangkat fibroadenoma mungkin tidak diperlukan. Pendekatan ini berguna untuk wanita dengan fibroadenoma yang multipel yang tidak berlanjut pertumbuhannya.
Pada beberapa kasus, pengangkatan fibroadenoma multipel berarti mengangkat sejumlah besar jaringan payudara sekitar yang normal, sehingga menyebabkan jaringan parut yang akan mengubah bentuk dan tekstur payudara. Hal ini juga nantinya akan menyebabkan hasil pemeriksaan fisik serta mammografi menjadi sulit untuk diinterpretasikan. Sangat penting bagi wanita yang tidak melakukan pengangkatan fibroadenoma tersebut untuk memeriksakan payudaranya secara teratur untuk meyakinkan bahwa massa tersebut tidak berlanjut pertumbuhannya. Terkadang satu atau lebih fibroadenoma akan tumbuh setelah salah satu fibroadenoma diangkat. Hal ini berarti bahwa fibroadenoma baru telah terbentuk dan bukanlah fibroadenoma yang lama yang tumbuh kembali.

Tumor Filoides (Sistosarkoma filoides)
Tumor filoides merupakan suatu neoplasma jinak yang bersifat menyusup secara lokal dan mungkin ganas (10-15%). Pertumbuhannya cepat dan dapat ditemukan dalam ukuran yang besar. Tumor ini terdapat pada semua usia, tapi kebanyakan pada usia sekitar 45 tahun.
Tumor filoides adalah tipe yang jarang dari tumor payudara, yang hampir sama dengan fibroadenoma yaitu terdiri dari dua jaringan, jaringan stroma dan glandular. Perbedaan antara tumor filoides dengan fibroadenoma adalah bahwa terdapat pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrokonektif pada tumor filoides. Sel yang membangun jaringan fibrokonektif dapat terlihat abnormalitasnya dibawah mikroskop. Secara histologis, tumor filoides dapat diklasifikasikan menjadi jinak, ganas, atau potensial ganas (perubahan tumor ke arah kanker masih diragukan).
Tumor filoides pada umumnya jinak namun walaupun jarang dapat juga berubah menjadi ganas dan bermetastase. Tumor filoides jinak diterapi dengan cara melakukan pangangkatan tumor disertai 2 cm (atau sekitar 1 inchi) jaringan payudara sekitar yang normal. Sedangkan tumor filoides yang ganas diterapi dengan melakukan pengangkatan tumor disertai jaringan sekitar yang lebih luas lagi, atau mastektomi bila perlu. Tumor filoides tidak berespon terhadap terapi hormon dan hampir sama dengan kanker payudara yang berespon terhadap kemoterapi atau radiasi.

Papilloma Intraduktal
Papilloma intraduktal adalah pertumbuhan menyerupai kutil dengan disertai tangkai yang tumbuh dari dalam payudara yang berasal dari jaringan glandular dan jaringan fibrovaskular. Papilloma seringkali melibatkan sejumlah besar kelenjar susu. Lesi jinak yang berasal dari duktus laktiferus dan 75% tumbuh di bawah areola mamma ini memberikan gejala berupa sekresi cairan berdarah dari puting susu. Papilloma dapat juga ditemukan di duktus yang kecil di daerah yang jauh dari puting. Keadaan ini seringkali tumbuh dalam jumlah banyak dan juga mungkin disertai hiperplasi epitelial.
Perubahan payudara jinak yang menyebabkan keluarnya sekresi cairan dari puting, hampir setengahnya adalah papilloma, dan sisanya adalah campuran perubahan fibrokistik ataupun ektasia duktus. Walaupun papilloma bisa dicurigai dari pemeriksaan terhadap discharge, namun banyak dokter menganggap pemeriksaan tersebut tidak begitu bermanfaat. Apabila papilloma cukup besar, biopsi jarum bisa dilakukan. Papilloma dapat juga didiagnosa melalui pemeriksaan pencitraan pada duktus payudara yaitu dengan duktogram atau galaktogram.
Terapi untuk papilloma adalah dengan mengangkat papilloma serta bagian duktus dimana papilloma tersebut ditemukan, dimana biasanya dengan melakukan insisi pada tepi sekeliling areola.

Tumor Sel Granular
Tumor sel granular biasanya terdapat pada mulut atau kulit, namun dalam jumlah yang jarang dapat ditemukan juga di payudara. Kebanyakan tumor sel granular pada saat perabaan dapat digerakkan, konsistensi keras, berdiameter antara ½ sampai 1 inchi. Konsistensinya yang keras terkadang mengacaukan diagnosisnya dengan kanker, namun aspirasi jarum halus atau biopsi jarum dapat dilakukan untuk membedakannya.
Tumor ini diatasi dengan cara mengangkat tumor beserta sedikit jaringan normal disekelilingnya. Tumor sel granular tidak akan meningkatkan resiko pada wanita untuk terjadinya kanker payudara di kemudian hari.

Ektasia Duktus
Ektasia duktus merupakan pelebaran dan pengerasan dari duktus, dicirikan dengan sekresi puting yang berwarna hijau atau hitam pekat, dan lengket. Pada puting serta daerah disekitarnya akan terasa sakit serta tampak kemerahan. Ektasia duktus adalah kondisi yang biasanya menyerang wanita usia sekitar 40 sampai 50 tahun. Ektasia duktus adalah kelainan jinak yang walaupun begitu dapat mengacaukan diagnosis dengan kanker dikarenakan benjolan yang keras di sekitar duktus yang abnormal akibat terbentuknya jaringan parut.
Kondisi ini umumnya tidak memerlukan tindakan apapun, atau dapat membaik dengan melakukan pengkompresan dengan air hangat dan obat-obat antibiotik. Apabila keluhan tidak membaik, duktus yang abnormal dapat diangkat melalui pembedahan dengan cara insisi pada tepi areola.

Nekrosis Lemak
Nekrosis lemak terjadi bila jaringan payudara yang berlemak rusak, bisa terjadi spontan atau akibat dari cedera yang mengenai payudara. Nekrosis lemak dapat juga terjadi akibat terapi radiasi. Ketika tubuh berusaha memperbaiki jaringan payudara yang rusak, daerah yang mengalami kerusakan tergantikan menjadi jaringan parut.
Nekrosis lemak berupa massa keras yang sering agak nyeri tetapi tidak membesar. Kadang terdapat retraksi kulit dan batasnya tidak rata. Karena kebanyakan kanker payudara berkonsistensi keras, daerah yang mengalami nekrosis lemak dengan jaringan parut sulit untuk dibedakan dengan kanker jika hanya dari pemeriksaan fisik ataupun mammogram sekalipun. Dengan biopsi jarum atau dengan tindakan pembedahan eksisi sangat diperlukan untuk membedakan nekrosis lemak dengan kanker. Secara histopatologik terdapat nekrosis jaringan lemak yang kemudian menjadi fibrosis.
Menurut American Cancer Society, beberapa area dari nekrosis dapat berespon berbeda-beda terhadap cedera. Desamping pembentukan jaringan parut, sel-sel lemak akan mati dan mengeluarkan isi sel, yang membentuk kumpulan seperti kantong-kantong berisi cairan berminyak dan disebut kista minyak. Kista minyak dapat ditemukan melalui aspirasi jarum halus, yang sekaligus merupakan tindakan untuk terapinya.

Mastitis
Mastitis adalah infeksi yang sering menyerang wanita yang sedang menyusui atau pada wanita yang mengalami kerusakan atau keretakan pada kulit sekitar puting. Kerusakan pada kulit sekitar puting tersebut akan memudahkan bakteri dari permukaan kulit untuk memasuki duktus yang menjadi tempat berkembangnya bakteri dan menarik sel-sel inflamasi. Sel-sel inflamasi melepaskan substansi untuk melawan infeksi, namun juga menyebabkan pembengkakan jaringan dan peningkatan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan payudara menjadi merah, nyeri, dan terasa hangat saat perabaan.
Gambaran klinisnya sukar dibedakan dengan karsinoma, yaitu massa berkonsistensi keras, bisa melekat ke kulit, dan menimbulkan retraksi puting susu akibat fibrosis periduktal, dan bisa terdapat pembesaran kelenjar getah bening aksila. Kondisi ini diterapi dengan antibiotik. Pada beberapa kasus, mastitis berkembang menjadi abses atau kumpulan pus yang harus dikeluarkan melalui pembedahan.


2.3. Tumor Payudara Ganas (Karsinoma Mamma)
Etiologi dan faktor resiko
Dari epidemiologi tampak bahwa kemungkinan untuk menderita kanker payudara 2 sampai 3 kali lebih besar pada wanita yang ibunya atau saudara kandungnya menderita kanker payudara. Kemungkinan ini lebih besar bila ibu atau saudara kandung itu menderita kanker bilateral atau pre menopause. Seperti pada banyak jenis kanker, insidensi menurut usia naik sejalan dengan bertambahnya usia, makin lanjut usia resiko menderita kanker makin tinggi.
Pertumbuhan kanker payudara sering dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan hormon. Menarche yang cepat dan menopause yang lambat ternyata disertai dengan peninggian resiko. Resiko karsinoma mamma lebih rendah pada wanita yang melahirkan anak pertama pada usia lebih muda. Laktasi tidak mempengaruhi resiko. Kemungkinan resiko meninggi terhadap adanya kanker payudara pada wanita yang menelan pil KB dapat disangkal berdasarkan penelitian yang dilakukan selama puluhan tahun. Sampai sekarang tidak terbukti bahwa diit lemak berlebihan dapat memperbesar atau memperkecil resiko kanker payudara.

Klasifikasi
Klasifikasi histologi :
Malignant (Carcinoma)
1.Non invasive carcinoma
a.Non invasive ductal carcinoma
b.Lobuler carcinoma in situ
2.Invasive carcinoma
a.Invasive ductal carcinoma
b.Papillobular carcinoma
c.Solid-tubular carcinoma
3.Special types
a.Mucinous carcinoma
b.Medullary carcinoma
c.Invasive lobular carcinoma
d.Adenoid cystic carcinoma
e.Squamous cell carcinoma
f.Spindel cell carcinoma
g.Apocrine carcinoma
h.Carcinoma with cartilaginous and or osseous mataplasia
i.Tubular carcinoma
j.Secretary carcinoma
k.Others
4.Paget’s disease

Klasifikasi berdasarkan derajat diferensiasi histologis :
G1 : Derajat keganasan rendah
G2 : Derajat keganasan sedang
G3 : Derajat keganasan tinggi

Klasifikasi stadium TNM :
T = Ukuran tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak terdapat tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
Tis (DCIS) : Ductal carcinoma in situ
Tis (LCIS) : Lobular carcinoma in situ
Tis (Paget) : Penyakit Paget pada puting tanpa adanya tumor
T1 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya ≤ 2 cm
T1mic: Adanya mikroinvasi ≤ 0,1 cm
T1a : Tumor dengan ukuran 0,1-0,5 cm
T1b : Tumor dengan ukuran 0,5-1 cm
T1c : Tumor dengan ukuran 1-2 cm
T2 : Tumor dengan ukuran 2-5 cm
T3 : Tumor dengan ukuran > 5 cm
T4 : Tumor ukuran berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada atau kulit
T4a : Ekstensi ke dinding dada (tidak termasuk otot pektoralis)
T4b : Edema (termasuk peau d’orange), ulcerasi, nodul satelit pada kulit pada 1
payudara
T4c : Mencakup kedua hal diatas
T4d : Mastitis karsinomatosa

N = Kelanjar getah bening regional
Nx : KGB regional tidak bisa dinilai (telah diangkat sebelumnya)
N0 : Tidak terdapat metastase KGB
N1 : Metastase ke KGB aksila ipsilateral yang mobil
N2 : Metastase ke KGB aksila ipsilateral terfiksir, berkonglomerasi, atau adanya
pembesaran KGB mamaria interna ipsilateral tanpa adanya metastase ke KGB aksila
N2a : Metastase pada KGB aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke
struktur lain
N2b : Metastase hanya pada KGB mamaria interna ipsilateral secara klinis dan tidak
terdapat metastase pada KGB aksila
N3 : Metastase pada KGB infraklavikular ipsilateral dengan atau tanpa metastase KGB
aksila atau klinis terdapat metastase pada KGB aksila; atau metastase pada KGB
supraklavikular ipsilateral dengan atau tanpa metastase pada KGB aksila atau
mamaria interna
N3a : Metastase ke KGB infraklavikular ipsilateral
N3b : Metastase ke KGB mamaria interna dan KGB aksila
N3c : Metastase ke KGB supraklavikular

M = Metastase jauh
Mx : Metastase jauh belum dapat dinilai
M0 : Tidak terdapat metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh

Stadium :
0 : Tis N0 M0
I : T1 N0 M0
IIA : T0 N1 M0, T1 N1 M0, T2 N0 M0
IIB : T2 N1 M0, T3 N0 M0
IIIA : T0 N2 M0, T1 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0
IIIB : T4 N0 M0, T4 N1 M0, T4 N2 M0
IIIC : TiapT N3 M0
IV : TiapT TiapN M1

Patofisiologi
Payudara normal

Hiperplasia ( penambahan jumlah sel)

Atipikal hiperplasia (penambahan jumlah sel yang abnormal, pertanda kanker payudara)

Carcinoma in situ (kanker telah terjadi namun tergantung duktus atau lobulus dimana kanker tersebut bermula)

Invasive cancer (kanker terdapat dan telah menyebar dimulai dari duktus atau lobulus dimana kanker tersebut berasal)

Prosedur diagnostik
Pemeriksaan klinis :
Anamnesis :
1.Keluhan di payudara atau ketiak dan riwayat penyakitnya
Benjolan
Kecepatan tumbuh
Rasa sakit
Nipple discharge
Nipple retraksi dan sejak kapan
Krusta pada areola
Kelainan kulit : dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi
Perubahan warna kulit
Benjolan ketiak
Edema lengan
2.Keluhan di tempat lain yang berhubungan dengan metastase
Nyeri tulang (vertebra, femur)
Rasa penuh di ulu hati
Batuk
Sakit kepala hebat, dll
3.Faktor-faktor resiko
Usia penderita
Usia melahirkan anak pertama
Punya anak atau tidak
Riwayat menyusui
Riwayat menstruasi
Riwayat pemakaian obat hormonal
Riwayat keluarga sehubungan dengan kanker payudara atau kanker lain
Riwayat pernah operasi tumor payudara atau tumor ginekologik
Riwayat radiasi dinding dada

Pemeriksaan fisik :
1.Status generalis
2.Status lokalis
Payudara kanan dan kiri harus diperiksa
Massa tumor : lokasi, ukuran, konsistensi, permukaan, bentuk dan batas tumor, jumlah tumor, terfiksasi atau tidak ke jaringan sekitar payudara, kulit, m.pektoralis, dan dinding dada.
Perubahan kulit : kemerahan, dimpling, edema, nodul satelit, peau d’orange, ulserasi.
Nipple : tertarik, erosi, krusta, discharge.
Status kelenjar getah bening aksila, infraklavikular, dan supraklavikular : jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir satu sama lain atau jaringan sekitar.
Pemeriksaan pada daerah yang dicurigai metastase : lokasi organ (paru, tulang, hepar, otak).

Pemeriksaan Radiodiagnostik / imaging :
1.Diharuskan :
USG payudara dan mammografi untuk tumor berdiameter > 3 cm
Foto toraks
USG abdomen (hepar)
2.Atas indikasi :
Bone scanning dan atau bone survey (bilamana sitologi dan atau klinis sangat mencurigakan pada lesi > 5 cm)
CT scan


Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) – sitologi :
Dilakukan pada lesi yang secara klinis dan radiologik curiga ganas.
Catatan : belum merupakan gold standard.

Pemeriksaan Histopatologi (gold standard diagnostik) :
1.Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan potong beku dan atau parafin.
2.Bahan pemeriksaan histopatologi diambil melalui :
Core biopsy
Biopsi eksisional untuk tumor ukuran <> 3 cm sebelum operasi definitif
b.inoperabel
Spesimen mastektomi disertai dengan pemeriksaan KGB
Pemeriksaan imunohistokimia : ER, PR, c-erbB-2 (HER-2 neu), cathepsin-D, p53 (situasional)

Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia klinik yang sesuai dengan kemungkinan metastase.

Penatalaksanaan :
1.Operasi
BCS (Breast Conserving Surgery)
Simpel mastektomi
Radikal mastektomi
2.Radiasi
Primer
Adjuvan
Paliatif
3.Kemoterapi
Harus kombinasi
Kombinasi yang dipakai :
a.CMF
b.CAF, CEF
c.Taxane + Doxorubicin
d.Capecetabin
4.Hormonal terapi
Ablative : Bilateral ovarektomi
Additive : Tamoxifen
Optional : Aromatose inhibitor, GnRH, dsb.
5.Molecular targeting therapy (terapi biologi)

DAFTAR PUSTAKA


1.Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim, 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
2.Komite Medik RSUP DR.Sardjito, 1999. Standar Pelayanan Medis RSUP DR. Sardjito. Yogyakarta : Penerbit Medika FK UGM.
3.Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, 2002. Protokol Penatalaksanaan Kanker Payudara.
4.Santen, Richard dan Mansel, Robert, 2005. Benign Breast Disorder, The New England Journal Of Medicine, 353 : 275-85.
5.Chaudhary, A., Qureshi, K., Rasul, S., Bano, A., 2003. Journal Of Surgery Pakistan, vol. 8 no.3.
6.http://www.medem.com/MedLB/article_detailb.cfm?article_ID=ZZZ3F9G56JC
7.http://www.cancer.org/docroot/cri/content/cri_2_6xbenign_breast_conditions_59.asp
8.http://www.imaginis.com/breasthealth/benignbreast condition.htm

All About Striktur Urethra



A. ANATOMI URETRA1,3,5,6
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian

B. DEFINISI
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya.7


C. ETIOLOGI
Striktur uretra dapat terjadi pada1,2,3,4,5,6,7,8,9
1. Kelainan Kongenital,
misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma,
misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.
4. Post operasi,
beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
5. Infeksi,
merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.

D. PATOFISIOLOGI3,6,9
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula.
Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.
E. DERAJAT PENYEMPITAN URETRA7
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

F. GEJALA KLINIS
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urine. 1,2,3,4,9,10


G. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik3
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra, infiltrat, abses atau fistula.

2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal3,10
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi. 3,7,10
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi. 2,3,5,7,10
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse. 2,3,5,7

H. DIAGNOSIS
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.3

I. PENATALAKSANAAN
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun.10 Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.3,7,10 Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)7,11
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin.
Tersedia beberapa jenis bougie (Gbr.4F). Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut (Gbr.3A-D). Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus (Gbr.3E).
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter.
Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya <>

Penatalaksanaan Trauma Spinal dan Cedera Cervikal



II. 1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea). Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil. 4, 5
Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu : 6
1.Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya
2.Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina , pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi

Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinosus. 5
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. 5
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi. 4

II. 2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9 tahun.1

II. 3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal menyelam (8 %), dan penyebab lain (2 %). 3
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan olahraga biasanya terjadi pada usia 29 tahun. 2

II. 4. PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang. 1
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior. 1
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi otonom. 1
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi relative, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang belakang akut. 1
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis. 1
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada level segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma vaskular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang. 1

Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang. Trauma penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma primer. 1

Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom epidural spinal atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang belakang akut. 1
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab utama trauma sekunder.1
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit. Sindrom sumsum tulang belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the anterior cord syndrome, the Brown-Séquard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion. 1
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di bawah level trauma, meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang dapat mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya. Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan sensasi nyeri dan suhu. The International and American Spinal Injury Association (ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum (di bawah S5).

Trauma inkomplit meliputi : 1,3
Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri dan/atau suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.
Brown-Séquard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral, dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada ekstremitas atas yang dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi, nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasnya terjadi disestesia, khususnya pada ekstremitas atas (misal sensasi panas di tangan atau lengan).

Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.

A spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang. 3
Trauma sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi yang terkait dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran darah mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan asam basa dibutuhkan untuk mencegah perburukan. 1

II. 5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 6
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.

Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat. 6

Cedera stabil 7
Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.


Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan.

Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.

Cedera Tidak Stabil 7
Cedera Rotasi – Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.

Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.

Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.

II. 6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur toraks. 5
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. 5
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau kompresi. 5
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. 5

II. 7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. 5
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.5

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5

Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. 5
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. 5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. 5
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang adalah: 4
Nyeri mulai dari leher sampai bawah
Kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan lengan)
Kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh

II. 8. DIAGNOSIS
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut : 4
Pasien tidak sadar
Pasien dengan multipel trauma
Trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang. 4
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah. Selain itu, urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius. 1
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita. 3,5

Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur. 5

II. 9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut. 5
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang. 5
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. 5
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. 5
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. 5
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. 5
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. 5
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering. 5
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang optimal. 5
Penanggulangan Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang : 5
Prinsip umum :
pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum
mencegah terjadinya cedera kedua
waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang
lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan :
adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
optimalisasi faal ABC : jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah
penanganan kelainan yang lebih urgen
pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
tindak bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
pencegahan penyulit
* ileus paralitik → sonde lambung
* penyulit kelumpuhan kandung kemih → kateter
* pneumoni
* dekubitus

Tindak Bedah 5
Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena deformitas fleksi, fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi.
Pembedahan darurat diperlukan bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum belakang bagian depan yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan stabilitas tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang
Tindakan darurat
luka tembus
sindrom sumsum anterior akut
* peluru
* tikam / bacok
gangguan neurologik progresif (penekanan)
Tindakan elektif
patah tulang tidak stabil
Tujuan :
mencegah jejas lintang
mempercepat penyembuhan dan revalidasi
memungkinkan rehabilitasi aktif
mempermudah perawatan dan fisioterapi aktif

Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat dan tekanan darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air besar atau buang air kecil.
Penting untuk diingat bahwa trauma tulang belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme trauma melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi : 4
1.Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban bergerak kecuali korban dapat meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal menghindari batu yang jatuh). Posisi leher harus tetap dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi.
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa berupa matras, papan keras. 4

II. 9. KOMPLIKASI 1,2
- Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal.
Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.
Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).
- Hipotermia.
- Dekubitus
- Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
- Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi :
atelektasis sekunder
menurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan pneumonia
kelelahan otot

II. 10. PROGNOSIS 1
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik.
Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.

DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber, Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim, 2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim, 2006. Spinal Cord Injuries.
http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran, Mike, 2006. Spinal Injuries.
http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
6.Listiono, Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia, Jakarta.
7.Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.
8.Senior, 2007. Jangan sembarangan Menggerakkan Leher Anda.
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Work+Out&y=cybermed%7C0%7C0%7C7%7C198