Juara Tanpa Mahkota



Pupus sudah ambisi tim nasional untuk mendapatkan gelar bergengsi piala AFF Suzuki Cup. Setelah di partai final dipecundangi Malaysia dengan agregat 4-2. Untuk yang kesekian kalinya Indonesia harus bertekuk lutut dengan Malaysia, bukan hanya dari aspek sosio politik akan tetapi juga dari aspek olahraga. Terasa berat memang setelah melalui perjuangan yang cukup panjang sampai akhirnya Indonesia harus mampu lapang hati menerima kenyataan ini semua setelah beberapa kali edisi final selalu kandas. Tahun 2000 dan 2001 di pukul Thailand, tahun 2004 di pecundangi Singapura dan tahun 2010 di tekuk negara serumpun Malaysia. Tampak jelas sekali kekalahan Indonesia ketika bermain di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur. Ketika Indonesia mampu menahan Malaysia di 45 menit babak pertama walaupun di ancam dengan terror sinar laser dan petasan, namun semangat juang yang tinggi akhirnya runtuh ketika kesalahan kecil yang dilakukan oleh pemain belakang, Maman membiarkan Safee Sali dengan leluasa menguasai bola hingga akhirnya Indonesia harus tertunduk. Gol pertama itulah yang menyebabkan runtuhnya mental bertanding garuda muda hingga akhirnya gol kedua dan gol ketiga lahir dalam tempo yang cukup singkat. Pertahanan Indonesia mampu di koyak oleh terkaman Harimau Malaya. Runtuhnya mental bertanding pemain inilah yang benar-benar menjadi permasalahan sendiri ketika pada pertemuan kedua bermain di Stadion Gelora Bung Karno.


Para pengamat sudah dapat memprediksi bahwa Indonesia akan menang namun belum tentu juara. Hal senada juga di ungkapkan oleh Pelatih Alfred Riedl bahwa peluang Indonesia juara hanya 10 persen. Dengan selisih waktu hanya tiga hari dari pertandingan pertama yang menjadi pekerjaan rumah bagi Riedl adalah masalah mental yang sudah runtuh. Sebenarnya, agak sulit memang mengejar deficit 3 gol sekaligus. Namun ini adalah sepak bola sulit untuk ditebak. Kunci permainan Indonesia terletak pada 15 menit pertama di Gelora Bung Karno. Jika 15 menit pertama mampu membuat gol, kemungkinan besar Indonesia bisa menahan sampai babak perpanjangan waktu atau bahkan babak penalty. Asa itu sepat ada, namun Firman Utina yang dipercaya sebagai penendang penalty tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, arah bola bisa mudah dibaca oleh kiper. Setelah itu praktis gempuran demi gempuran yang dilakukan oleh garuda muda mentah di bawah mistar gawang Malaysia. Hingga akhirnya Maman, untuk yang kedua kalinya kehilangan bola dan peluang itu mampu dimanfaatkan oleh Safee Sali untuk memperdaya Markus Harison. Dua gol Indonesia hasil sumbangan dari Nasuha dan Ridwan seolah-olah tidak ada gunanya. Walaupun Indonesia memenangkan pertandingan, Indonesia buka juaranya.


Banyak pihak yang menyalahkan besarnya Intervensi luar terhadap tim nasional sehingga konsentrasi terpecah. Ada beberapa agenda kegiatan yang tidak penting dilakukan. Pemain harus di wawancarai oleh media, harus melayani foto dan tanda tangan dari penggemar, jamuan-jamuan yang tidak penting hingga istighosah yang melibatkan seluruh pemain tim nasional. Intervensi yang sangat besar dan kesannya tidak menjadi soal oleh Nurdin Khalid sehingga pelatih Alfred Riedl pun hanya pasrah mengikuti kemauan Nurdin. Sepak bola di intervensi terlalu besar hingga ke ranah politik. Seharusnya, begitu Indonesia masuk semifinal pemain harus tertutup dari ekspos media yang berlebihan agar tenaga dan konsentrasi serta mental lebih di fokuskan pada pertandinga. Ini pelajaran berharga buat semua. Di bawah kendali Nurdin Khalid, Indonesia belum menjadi juara. Sudahlah, tidak usah mencari siapa kambing hitam kegagalan Indonesia pada piala AFF kali ini. Bukan petasan yang disalahkan dan bukan pula sinar laser yang disalahkan, yang seharusnya disalahkan adalah diri kita sendiri tidak mampu menahan emosi dan berfikir lebih arif dan bijak dalam melihat permasalahan.

Terlepas dari itu semua, kontribusi tim nasional untuk perdamaian, solidaritas dan kekompakan bangsa Indonesia patut di puji. Football for unite benar-benar terwujud disana. Jika kesan selama ini sepak bola Indonesia penuh dengan anarkisme, melalui tim nasional ini semuanya melebur menjadi satu dari sabang sampai merauke. Indonesia menjadi bangsa yang bersatu. Patut kita apresiasi pencapaian tim nasional sejauh. Terima Kasih Indonesia, Terima Kasih Garuda Muda.

Euforia yang Berlebihan


Prestasi tim nasional Indonesia memang patut untuk diberi apresiasi. Mengingat sejarah panjang sepak bola di Indonesia penuh dengan dinamika yang pasang surut. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah merasakan panggung Piala Dunia tahun 1930 yang lalu di Uruguay ketika masih bernama Hindia Belanda. Namun sejak saat itu, nama besar Indonesia tenggelam hingga medio tahun 1987 ketika menjadi jawara ASEAN untuk pertama kalinya. Naik surut prestasi itu kemudian sampai pada puncaknya ketika berturut-turut masuk final Piala AFF tahun 2000, 2002, dan 2004. Namun, ketika gelar juara selangkah lagi di genggaman tangan pupus ditekuk Thailand dan Singapura. Euforia itu kemudian membumbung tinggi ketika pencapaian Indonesia di tahun 2010 menembus hingga babak final dengan menekuk Malaysia, Laos bahkan raksasa ASEAN Thailand pada babak penyisihan dan di semifinal memukul Filipina.

Dengan naturalisasi sebagai kunci keberhasilan Indonesia pada piala AFF kali ini, ditangan Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai pemain kunci dalam tim. Seolah belum cukup dengan itu semua, bahkan PSSI sendiri memiliki rencana untuk melakukan naturalisasi Kim Kurniawan, Victor Igbonefo dan Ronald Fagundez. Menag tidak dapat dipungkiri kemampuan diatas rata-rata pemain naturalisasi menjadi kunci keberhasilan. Namun itu bukan merupakan segalanya, yang terpenting adalah kolektivitas yang membangun semangat kebersamaan dalam tim.

Jika melihat fenomena saat ini, di tayangan media cetak dan media elektronik dalam kurun waktu satu bulan ini berita yang ditayangkan sangat berlebihan. Tidak ada berita yang mampu menandingi prestasi tim nasional Indonesia saat ini, bahkan keistimewaan DIY saja pupus ditiup angin lalu. Bahkan infotainment yang biasa menyiarkan gossip ikutan memberitakan seputar prestasi tim nasional yang mengalahkan segalanya. Ada semacam penutupan isu hangat dalam politik nasional karena berita ini, masalah RUU Keistimewaan DIY, masalah IPO Kratakau Steel. Inilah yang kemudian disebut euphoria yang berlebihan. Coba bayangkan, euphoria ini mencapai titik puncak. Jika menjadi juara Piala AFF, mimpi tersebut terwujud namun jika ternyata menjadi pencundang, kalah di babak final oleh Malaysia apa yang akan terjadi? Siapkah rakyat Indonesia menerima kekalahan tersebut dengan jiwa besar? Apalagi secara politik, naik turun ketegangan hubungan Indonesia Malaysia menjadi bumbu sedap tersendiri bagi kedua pihak.

Terlepas dari pencapaian tim nasional saat ini banyak yang masih harus dibenahi hingga tuntas, masalah tiket yang semrawut, sampai masalah kesiapan Indonesia menggelar event-event skala Internasional tidak harus terpatok pada ajang piala AFF saja. Tapi kesiapan Indonesia jika suatu saat nanti masuk dalam putaran final Piala Dunia sekalipun. Pekerjaan rumah yang cukup besar agar dikemudian hari kegiatan seperti ini bisa berjalan dengan baik dan lancar. Semoga..

Piala Dunia dan Konsep Perdamaian Bangsa


Artikel ini sudah lama ditulis, namun karena sempat hilang filenya sehingga terlambat di upload. Mari kita diskusikan bersama..

Oleh : dr. Sani Rachman Soleman

Konflik yang melanda dunia yang terjadi sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu semakin memperlebar kesenjangan sosial masyarakat, baik konflik yang sifatnya horizontal maupun yang vertikal. Konflik yang masih hangat dalam ingatan kita dan terjadi sejak puluhan tahun yang lalu adalah konflik Israel Palestina. Konflik kepentingan yang dibungkus oleh konflik ideologi keagamaan telah membuat ratusan, ribuan atau bahkan jutaan rakyat Palestina mati syahid. Konflik lain yang masih hangat dalam ingatan kita adalah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan di semenanjung Korea. Korea Utara dengan paham komunismenya semakin liar memproduksi uranium untuk pengembangan senjata nuklir, siap menodongkan moncong Tae Po Dong di tanah Korea Selatan. Konflik ini diprediksikan juga sukar sekali untuk menemukan titik ideologis untuk dipersatukan. Konflik di Afrika Selatan antara ras kulit hitam dan ras kulit putih yang riak-riaknya masih berkembang sampai saat ini, walaupun Nelson Mandela sudah menghapuskan politik Apartheid dari negerinya. Disamping konflik tersebut masih banyak sekali konflik di dunia yang melibatkan rezim-rezim berkuasa anti kemapanan untuk melawan hegemoni Amerika Serikat seperti yang terjadi pada negara-negara Amerika Selatan.

Badan Dunia PBB bahkan sudah melakukan berbagai macam strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Di mulai dari cara diplomasi sampai perundingan damai dan bahkan instruksi PBB jelas, penghentian gencatan senjata. Namun semua instruksi tersebut tidak dipernah direspon dengan baik dan jika direspon semuanya sudah terlambat karena sudah ratusan atau bahkan ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban. Kecaman demi kecaman yang dilontarkan oleh negara-negara dibelahan bumi lainnya seolah-olah tidak ada gunanya. Peran dari organisasi-organisasi di dunia untuk ikut urun rembug menyelesaikan permasalahan ini seolah-olah hanya lip services belaka untuk menenangkan sesaat gejolak yang terjadi. Sebagai contoh, peran dari Liga Arab dalam proses perdamaian di Timur Tengah, apakah negara-negara Arab juga ikut tutup mata memanfaatkan konflik tersebut agar harga minyak dunia menjadi fluktuatif yang dimanfaatkan oleh segelintir orang berdasi untuk mengeruk keuntungan. Jelas dipertanyakan peran dari Liga Arab yang notabene secara teologi sama, mereka adalah negara-negara Islam seharusnya memiliki solidaritas yang kokoh antar ummat. Coba dicermati peran negara-negara OKI termasuk didalamnya Indonesia, sejauh mana kontribusi Indonesia yang mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam untuk berperan serta untuk menjaga ketertiban dunia dan berperan serta menciptakan perdamaian abadi serta keadilan sosial sesuai dengan amanat UUD 1945. Semua wacana dan konsep perdamaian yang digodog dalam meja perundingan hanya bualan semata tanpa ada konsep implemetasi yang jelas. Badan Dunia PBB, Liga Arab dan OKI sendiri harus mampu merumuskan suatu konsep perdamaian yang melibatkan organisasi dunia lain karena disanalah akan ditemukan suatu titik perdamaian yang sudah ditunggu-tunggu. Sebuah titik perdamaian yang masuk melalui olahraga yang digemari oleh seluruh dunia, sepakbola.
Badan Dunia PBB sudah harus berfikir ulang untuk melibatkan FIFA dalam proses perdamaian, bukan hanya berkutat pada organisasi yang concern tentang proses perdamaian saja. Terbukti proses perdamaian yang dibungkus melalui sepak bola cukup efektif dalam menjaga kondusifitas daerah konflik. Sepak bola dharapkan dapat menjadi pemersatu disparitas yang sempat membelah kepentingan individu dan kelompok menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Sepak bola terbukti mampu menyatukan ideologi yang sempat terkoyak oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. Sepertinya titik ini merupakan sebuah celah perdamaian yang harus dijembatani agar proses perdamaian bukan hanya sebagai retorika belaka. Jika flashback pengalaman Piala Asia beberapa waktu yang lalu di negara-negara ASEAN, siapa yang dapat memprediksi bahwa Iraq akan keluar menjadi jawara Piala Asia. Ditengah-tengah konflik ideology yang berkembang subur di negara tersebut disamping itu dengan persiapan tim Iraq yang tidak matang karena nightmare yang menghantui pemain Iraq. Tentunya semua pihak lebih menjagokan Korea Selatan ataupun Arab Saudi sebagai pemegang tampuk juara. Disamping lebih siap, stabilitas keamanan negara tersebut lebih terjamin. Namun semuanya terbalik dan berimbas positif terhadap kondusifitas dalam negeri Iraq saat itu yang benar-benar hancur lebur pasca kirisis. Ketika para punggawa Iraq pulang ke negeri seribu satu malam tersebut disambut bak pahlawan. Betul mereka adalah pahlawan, pahlawan untuk pemersatu konflik kepetingan Sunni-Syiah yang tumbuh subur di Iraq. Semua rakyat tumpah ruah bersuka cita, tidak pandang buluh apakah mereka muslim atau nasrani, apakah mereka suni atau syiah, yang jelas semuanya saling bergandengan tangan dan saling berpelukan. Semuanya melebur menjadi satu dalam euphoria sesaat.
Sungguh sayang, euphoria perdamaian ini tidak berlangsung lama karena setelah semua rakyat Iraq klimaks dengan kemenangan, semuanya akan kembai sepert sedia kala. Suni dan syiah kembali mengambil jarak, muslim dengan nasrani kembali membuat gap, terror demi terror mengancam stabilitas keamanan, bom dijadikan barang halal untuk melegalkan terror. Semuanya kembali sedia kala. Permasalahan ini tidak dicermati secara komprehensif bahwa ternyata sepak bola mampu meredam gejolak yang memanas. Badan Dunia PBB seolah-olah tidak mau ambil pusing dengan euphoria sesaat yang ternyata sangat efektif untuk menciptakan perdamaian. Liga Arab pun seolah-olah ingin cuci tangan acuh melihat permasalahan ini. Idealnya memang harus ada jembatan untuk menjaga euphoria damai tersebut agar tidak hilang ketika trofi itu sudah tidak dalam genggaman. Perlu duduk bersama untuk merumuskan suatu postulat yang mampu menjaga stabilitas perdamaian dunia. Sudah saatnya PBB merangkul FIFA untuk duduk bersama. Inilah saatnya, momentum Piala Dunia yang mempertemukan seluruh bangsa-bangsa di dunia hadir memberikan sajian damai.
Momentum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan adalah titik kulminasi untuk bicara satu kata, damai. Dimana dalam momentum ini, mempertemukan seluruh bangsa-bangsa di dunia yang ambil bagian untuk mensukseskan hajatan dunia ini. Negara-negara konflik pun ikut serta dalam turnamen tersebut, Korea Utara dan Korea Selatan mewakili Asia. Negara-negara Amerika Selatan dengan Amerika Serikat yang semakin menegang. Belum lagi negara-negara Afrika sendiri yang dalam negerinya juga terdapat embrio-embrio konflik. Untuk Afrika Selatan sendiri, momentum ini dapat dijadikan sebagai stabilisator damai yang masih tersisa pasca penghapusan politik Apharteid. Piala Dunia yang diamanahkan ke Afrika Selatan tahun ini dapat mempersatukan ras kulit hitam dan kulit putih dalam satu payung perdamaian. Untuk negara-negara di semenanjung Korea sendiri, untuk sesaat melupakan konflik yang sudah lama terjadi. Paling tidak untuk satu bulan kedepan rakyat Korea masih bisa merasakan hangatnya kekeluargaan dan kebersamaan mengingat mereka masih satu rumpun budaya. Sedangkan untuk negara-negara Amerika Selatan yang antikemapanan hegemoni Amerika Serikat sesaat dapat melupakan konflik yang terjadi. Semua itu dibungkus dalam satu momentum Piala Dunia. Sudah saatnya dunia ini hidup dalam damai, jauh dari konflik kepetingan, jauh dari konflik horizontal maupun vertikal. Semua elemen dunia bukan hanya PBB, akan tetapi negara-negara dunia harus ikut menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu kunci yang harus dibuka untuk dapat mewujudkan impian bersama adalah Piala Dunia. Kran-kran perdamaian melalui negara-negara peserta diharapkan mampu menahan arus perpecahan ideologi. Sudah saatnya sepak bola melalui Piala Dunia dijadikan simbol pemersatu, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi. Perlu komitmen dan konsistensi untuk dapat merealisasikannya. Kedepan harus ada satu kesepakatn damai melalui sepakbola sebagai olahraga dunia untuk perdamaian, sehingga muncullah sebuah diktum yang mengatakan Football for Unity.

Monarkhi dan Demokrasi


Perpolikan nassional saat ini sedang hangat membicarakan tentang status DIY yang menuai banyak kontroversi. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY (RUUK DIY) yang memicu perseteruan antara Jogja dan Jakarta. Pernyataan SBY yang menyatakan bahwa tidak ada monarkhi dalam Negara demokrasi menuai konflik di jogja yang terkenal kondusif.

Diantara 4 daerah otonom di Indonesia, termasuk Aceh, Papua, Jakarta dan Jogjakarta, hanya Jogjakarta yang regulasinya belum diatur komprehensif. Oleh karena itu sekitar tahun 2006, pemerintah daerah DIY mengajukan RUUK DIY. Namun pembahasan RUU itu kemudian terkatung-katung tanpa ada kejalasan status. Hingga akhirnya, SBY mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan perdebatan di Indonesia.

Ada beberapa hal yang patut dijadikan acuan tentang status DIY. DIY sebagai salah satu provinsi tertua di Indonesia melalui dekrit Sultan Hamnegkubuwono IX pada tahun 1950 menyatakan diri bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Jogja secara historis rela menawarkan diri menjadi ibu kota Negara saat Negara dalam keadaan genting memainkan peran penting dalam proses kemerdekaan. Adalah Hamengkubuwono IX yang rela pasang badan untuk Indonesia.

Jika melihat dari aspek sejarah, sudah sepantasnya DIY mendapatkan hak atas keistimewaannya karena peran sentral dalam kemerdekaan. Monarkhi yang dimaksud bukan dari aspek pemerintahan, karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi di Indonesia. Monarkhi yang dimaksud dalah monarkhi dalam aspek sosio cultural. Sama dengan daerah kerajaan lain di Indonesia, monakhi terbentuk dari aspek sosio cultural. Hanya di DIY saja yang menjadi masalah, karena Gubernur merangkap sebagai Raja Jawa. Mungkin jika Gubernur bukan merangkap sebagai raja jawa permasalahannya tidak serumit ini.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah terkait masa jabatan Gubernur jika nantinya di setujui RUUK ini. Sampai kapan Sultan akan menjabat menjadi Gubernur? Jika nantinya dalam perjalanannya, diangkat Sultan yang masih belum cukup umur untuk memimpin DIY apakah akan tetap diangkat menjadi Gubernur?

Masalah RUUK DIY memang masih menimbulkan debat yang mendalam oleh para pakar. Bola panas ada di tangan pemerintah (Menteri Dalam Negeri) untuk memutuskan. Fraksi democrat di DPR setuju pemilihan gubernur melalui pemilihan langsung sedangkan fraksi lain setuju realisasi RUUK DIY. Sultan sendiri menawarkan opsi referendum untuk memutuskan keistimewaan DIY.

Apapun hasilnya nanti, yang terpenting dari semua itu adalah NKRI harga mati. Jangan hanya masalah ini kemudian memantik api untuk memecah belah kesatuan dan integritas bangsa. Diperlukan kearifan dan kebijaksanaan para pemegang jabatan untuk lebih bisa menerima keputusan dengan cerdas.

Duet “BB” dalam system Peradilan Indonesia


Terpilihnya Busyro Muqoddas dan Basrief Arief sebagai pioneer penegakkan hukum di Indonesia menjadikan dua korps penegakan keadilan Indonesia menjadi buah bibir sentral. Pada saat hari yang bersamaan, Busyro yang sedang dipilih DPR melalui mekanisme voting dan penunjukan Basrief sebagai Jakgung oleh Presiden. Tentunya, banyak pihak menaruh sejuta harapan kepada mereka. Khususnya dalam pemberantasan korupsi, penegakkan keadilan dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Kasus demi kasus sudah menunggu dihadapan mereka, mulai dari kasus gayus, pemilihan DGS Bank Indonesia, kasus century dan sebagainya. Kasus demi kasus yang harus dipecahkan memang termasuk kasus kakap yang banyak kepentingan bermain disana. Ada invisible hand yang mengatur scenario agar berjalan dengan mulus.

Busyro Muqoddas yang merupakan ketua KY demisioner, masuk mendaftar menjadi ketua KPK pada hari terakhir penutupan bakal calon. Ketika diskusi dengan beliau beberapa bulan yang lalu sempat beliau menjelaskan untuk menjadi balon ketua KPK dorongan dari teman-teman sejawat, kolega dan keluarga. Sehigga setelah melalui istokharah yan mendalam keputusan itupun akhirnya dibuat. Setelah melalui beberapa tahapan pemilihan akhirnya lolos dua kandidat ketua yaitu Bambang Widjojanto da Busyro Muqoddas. Sebenarnya diantara kedua figure tersebut memiliki kredibilitas dan integritas yang kuat dan mengakar untuk menguatkan fungsi kelembagaan KY.

Basrief Arief adalah mantan petinggi di Korps Adhyaksa. Jabatan tertinggi diembannya sebagai wakil jaksa angung sebelum akhirnya pension. Pada dasarnya Basrief bukan orang baru di korps adhyaksa. Sehingga keputusan pengangkatan Basrief dari kalangan internal menurut kalangan internal sudah tepat. Namun untuk kalangan eksternal, proses ini menyebabkan tertundanya reformasi internal kejaksaan agung.

Duet BB inilah tampuk penegakan supremasi hukum berada, semoga amanah yang dilaksanakan dapat menjadi pahala tersendiri buat keduanya. Teringat kata-kata pak Mahfud, dua hal yang saya hindari ketika menjadi pejabat yaitu Korupsi dan Selingkuh. Pak Busyro sendiri pernah berkata yang beliau kutip dalam hadist, “Ya Allah masukanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkan hamba dalam keadaan baik-baik.

Finally Back Home

Hey..
What's your name...
Do you live around here..
Don't I know your face..
You say i've been stranger for too long..
I did'nt notice i was gone..
And i wanna come back home..
Kutipan lirik lagu Westlife diatas dalam album Back Home menjadi tema sentral dalam postingan kali ini.. secara, dah lama ga pulang kampung..
setelah melanglang buana merangungi lembah melewati gunung, moment pulang ini memiliki arti sendiri, secara soulmate SMA nikah "Giri & Dian" jadi harus di buru-buru waktu padahal tugas dijoja masing menggunung.. :P
lama ga pulang karena tugas, so pasti.. koass gitu loo.. kumpulan orang-orang salah.. tahun 2008 waktu mau pulang ga bisa, wisuda sedangkan tahun berikutnya mau pulang koass.. lebaran di Sragen.. tahun ini juga begitu udah niat pulang mau kumpul bareng teman-teman ternyata ortu dan keluarga besar lebaran dijogja semua.. la pulangnya kapaaaaaan...
moment pulang kali ini selain untuk menghadiri acara nikah teman tentunya ada aspek politis menghadapi persiapan tesis, minta doa dari teman-teman semua semoga diber kelancaran, mau coba buka link ke Chevron buat masukin proposal tesis, jika Allah memberi jalan Insya Allah ada peluang, banyak hikmah yang dapat diambil..
Tapi Insya Allah ga lama kok di Kaltim, karena mau settle praktek sm banyak baca tentang biostatistik..

Ya Allah, berilah hamba kemudahan dan kelancaran..
Masukanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkan hamba dalam keadaan baik-baik..
Amien..